Terang-terangan, Begini Isi Surat Terbuka Doktor Lulusan IPB Untuk Jokowi, Tentang Rizal Ramli
Bapak Presiden, terus terang, lima tahun yang lalu (12 Agustus 2015), ketika Bapak melantik Bapak Rizal Ramli menjadi Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, kami bahagia sekali. Tidak hanya di depan teman-teman sekerja, kami juga menceritakan kebahagiaan kami yang luar biasa itu kepada sejumlah keluarga. Kami juga menyampaikan kebahagiaan kami itu di akun Facebook.
Sayang sekali, usia kebahagiaan itu berumur pendek. Mengingat gaung usul yang kami sampaikan di Twitter hari ini dan dua hari yang lalu itu pasti sangat jauh dari memadai, kami memberanikan diri menyampaikan usulan itu melalui rmol.id.
Kami memang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Maafkan kami bila kami menyalurkan aspirasi kami ini secara terbuka. Kami yakin, aspirasi kami ini mewakili aspirasi minimal puluhan juta rakyat Indonesia yang berkehendak baik. Hari ini kami mencoba menggali kembali kepiawaian Bapak Rizal Ramli melalui Wikipedia dan rmol.id.
Hasil penelusuran kami tentang beliau semakin membuat kami sedih sekali bila Presiden masih enggan memanggil kembali beliau, sang mutiara dari ranah Minang ini, di tengah pandemi Covid-19 dan ancaman resesi yang bukan tidak mungkin berlanjut ke depresi ekonomi, dan bahkan lebih parah lagi bisa membuat Indonesia lenyap dari peta dunia seperti Yugoslavia.
Menyebut beliau mutiara rasanya masih kurang. Beliau jauh lebih bernilai dari itu. Kita patut berdecak kagum karena beliau pernah menjadi penasihat ekonomi PBB bersama ekonom internasional lainnya seperti peraih Nobel Ekonomi, Amartya Sen dari Universitas Harvard dan dua peraih nobel lainnya, Sir James Mirrlees Alexander dari Inggris dan Rajendra K. Pachuri dari Universitas Yale, Helen Hunt dari UNDP, Francis Stewart dari Universitas Oxford, Gustave Ranis dari Universitas Yale, Patrick Guillaumont dari Prancis, Nora Lustig dari Argentina, dan Buarque dari Brasil.
Kami semakin terkagum-kagum manakala mengetahui kritik beliau mengenai proyek ambisius listrik 35.000 MW, inefisiensi pembelian pesawat jumbo oleh Garuda Indonesia, dan mega korupsi di Pelindo II menemukan kebenarannya. Faktanya, tahun 2018 Garuda Indonesia merugi Rp2,45 trilyun dan audit BPK menyebut empat proyek Pelindo II menyebabkan kerugian Rp6 trilyun.