Berkurban Manifestasi Keta’atan dan Tanggungjawab Sosial
RIAU24.COM - Penyembelihan hewan kurban pada hari Idul Adha secara historis adalah merujuk pada puncak keta’atan Nabi Ibrahim kepada Allah SWT. Menunaikan perintah Allah untuk menyembelih putranya sendiri, Isma’il. Melalui mimpi, Allah perintahkan Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangannya yang telah lama ia nantikan kehadirannya. Mimpi yang berulang datangnya itu ia yakini sebagai titah yang harus dilaksanakan.
Penyembelihan hewan kurban pada hari raya Idul Adha merupakan wasilah (sarana) dan thariqah (cara) pelestarian millah (agama) Ibrahim, meski sebenarnya perintah untuk berkurban juga telah ada sejak zaman Nabi Adam. Saat itu, kedua putranya Qabil dan Habil diperintahkan untuk melaksanakan kurban sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Penyembelihan hewan kurban juga merupakan syari’at yang ditetapkan bagi Nabi Muhammad dan ummatnya, dengan merujuk kepada peristiwa Nabi Ibrahim yang mengorbankan putranya Isma’il.
Penetapan syari’at berkurban setelah rentang ribuan tahun peristiwa Ibrahim, menjadi media untuk menghapuskan penyimpangan pelaksanaan kurban yang tidak ditujukan kepada Allah. Banyak kalangan dalam masyarakat melakukan kurban yang mengarah kepada kemusyrikan. Termasuk kemunculan tradisi yang terjadi pada zaman jahiliyah, yaitu banyaknya masyarakat Arab kala itu yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Padahal, peristiwa kurban yang dilakukan Ibrahim memperlihatkan puncak keta’atan kepada Allah, bukan malah sebaliknya.
Perspektif Fiqh
Dalam bahasa Arab, kurban bersal dari akar kata qaraba-yuqaribu-qurbanan, yang memiliki arti menghampirkan atau mendekatkan. Melakukan kurban menurut syari’at Islam adalah menyembelih hewan atau binatang kambing, unta, sapi dan atau karbau- dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini dilakukan merujuk pada ayat-Nya, “Sesunggunya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah….”(QS. Al Kautsar; 1-3). Hal ini kemudian dipertegas Rasulullah dengan ungkapannya, “Barangsiapa yang memperoleh kelapangan, namun ia tidak berkurban, janganlah ia menghampiri tempat shalat kami.”
Berdasarkan kedua dalil naqli di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban adalah sunnah muakkad (sangat dianjurkan) bagi setiap muslim yang mampu. Dan waktu penyembelihan adalah pada hari “H” plus tiga hari tasyriq setiap tahunnya.