RIAU24.COM - Kasus dugaan korupsi proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4, dan 5 Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tahun 2020-2022 memasuki fakta baru.
Denda yang seharusnya dibayarkan oleh konsorsium proyek penyediaan menara BTS 4G senilai Rp 347 miliar ke negara akibat keterlambatan pengerjaan proyek berubah hanya menjadi Rp 87 miliar.
Proyek ini dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Melansir nasional.kompas.com, hal itu terungkap ketika Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri mencecar Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bakti Elvano Hatorangan saat dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca Juga: Dijuluki Crazy Rich Bantul, Ini Sumber Kekayaan Soimah
Elvano dihadirkan untuk terdakwa mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G Plate; Direktur Utama (Dirut) Bakti, Anang Achmad Latif; dan eks Tenaga Ahli Human Development (Hudev) Universitas Indonesia (UI), Yohan Suryanto.
“Menyangkut masalah denda, kemarin denda awalnya Rp 346 miliar terus kenapa jadi Rp 87 miliar Pak?” tanya Hakim Fahzal dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa (15/8).
Atas pertanyaan itu, Elvano pun menjelaskan bahwa ia bersama timnya telah menghitung denda yang akan diberikan kepada konsorsium dengan nilai lebih dari Rp 300 miliar.
Namun, Dirut Bakti Anang Achmad Latif meminta pihaknya tidak memberikan denda yang besar bagi penyedia proyek BTS 4G tersebut.
“Pak Anang menghampiri kami dan pada saat itu menanyakan kepada kami berapa besar nilai dendannya, kemudian saya sampaikan kepada Pak Anang bahwa nilai dendanya Rp 300 sekian. Lalu Pak Anang sampaikan bahwa itu terlalu besar bagi penyedia,” jelas Elvano.
“Kemudian jadi menciut jauh ke bawah? Menjadi Rp 87 miliar?” tanya Hakim lagi.
“Iya, Yang Mulia,” jawab Elvano.
“Berati tidak sesuai dengan aturan yang ditandatangani di kontrak?” cecar Hakim Fahzal.
Elvano membenarkan bahwa pengurangan denda terhadap tiga konsorsium penggarap proyek BTS 4G itu tidak sesuai dengan kontrak yang disepakati.
“Tidak sesuai, masih juga diberikan keringanan tiga konsorsium itu begitu, Pak?” timpal Hakim.
“Masih diberikan keringanan, kalau keringanan sedikit enggak apa-apa, Rp 347 miliar menjadi Rp 87 miliar dendanya?” sentil Hakim.
Hakim lantas mempertanyakan aturan untuk mengurangi denda bagi para konsorsium. Menjawab hal itu, Elvano mengatakan, berdasarkan perintah Anang Latif, pihaknya diminta mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19 yang saat itu terjadi.
Terlebih lagi, Pemerintah menerbitkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menyebabkan proyek BTS 4G tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan agenda yang telah direncanakan.
“Ada hitung-hitungan itu? Gimana cara hitungnya sampai di angka Rp 87 miliar itu?” cecar Hakim Fahzal.
“Jadi dari surat edaran PPKM yang diterbitkan dari pemerintah daerah kemudian kita menyimpulkan bahwa ada hari yang tidak bisa dimasuki oleh (konsorium), tidak bisa dilakukan pekerjan Yang Mulia. Jadi hari itu menjadi hari pengurang dendanya Yang Mulia,” papar Elvano.
“Jadi ada hitung-hitungan sendiri itu, diperbolehkan atau tidak menyimpang dari kontrak itu pak?” tanya Hakim lagi.
“Menyimpang, Yang Mulia,” jawab Elvano.
Baca Juga: Jual Eceran Dilarang, Pemerintah Naikkan Harga Rokok Mulai Bulan Depan
“Diperbolehkan apa tidak itu yang saya tanya!” sentil Hakim Fahzal.
Hakim Fahzal pun menilai, proyek BTS 4G dengan anggaran triliunan rupiah itu banyak yang bertentangan dengan aturan. Ketua Majelis Hakim ini pun heran, denda yang seharusnya menjadi kewajiban atas pekerjaan yang tidak sesuai juga dapat dikurangi sedemikian rupa.
“Kalau ditelusuri banyak sekali kerjamu ini yang enggak bener, kontrak itu ditandatangani untuk disepakati, Pak, sama dengan undang-undang juga kontrak, perjanjain yang dibuat oleh para pihak merupakan UU bagi mereka yang membuatnya. Itu lho, Pak,“ jelas Hakim.