Kemenag Bersikukuh Pemecatan Dosen IAIN Bukittinggi Bukan Karena Penggunaan Cadar
RIAU24.COM - Hingga saat ini, keberadaan Hayati Syafri, seorang dosen di IAIN Bukittinggi, terus mendapat sorotan. Hal itu berkaitan dengan pemecatan yang dialami sebagai dosen Bahasa Inggris di perguruan tinggi negeri tersebut. Masalah ini menjadi panas, karena banyak yang menduga pemecatan itu dilakukan karena Hayati mengenakan cadar.
Namun Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama bersikukuh, pemberhentian Hayati sebagai aparatur sipil negara (ASN) didasari karena melanggar disiplin pegawai.
"Berdasarkan keputusan pada rekam jejak kehadirannya secara elektronik melalui data finger printnya di kepegawaian IAIN Bukittinggi," terang Kasubbag Tata Usaha dan Humas Itjen Kementerian Agama, Nurul Badruttamam, di Jakarta, Sabtu 23 Februari, dilansir dari keterangan di akun instagram kemenag_ri.
"Berdasarkan hasil audit Itjen, ditemukan bukti valid bahwa selama tahun 2017 Hayati Syafri terbukti secara elektronik tidak masuk kerja selama 67 hari kerja," sebut Nurul.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Pasal 3 ayat 11 dan 17, kata Nurul, PNS yang tidak masuk kerja secara akumulatif minimal 46 hari kerja tanpa keterangan yang sah dalam satu tahun, harus diberikan hukuman disiplin berat berupa diberhentikan secara hormat/tidak hormat sebagai PNS.
Selain masalah ketidakhadiran di kampus sebanyak 67 hari kerja selama 2017, Hayati juga sering meninggalkan ruang kerja dan tidak melaksanakan tugas lainnya pada 2018. Tugas dimaksud misalnya, menjadi penasihat akademik dan memberikan bimbingan skripsi kepada mahasiswa.
"Jika ada keberatan, Hayati Syafri masih mempunyai hak untuk banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) ataupun ke PTUN," saran dia.
Di sisi lain, Hayati yang dikonfirmasi media massa, membenarkan adanya pemecatan terhadap dirinya.
"Benar (sudah diberhentikan dari Kemenag), kalau tidak salah per tanggal 18 Februari," ujarnya.
Dikatakan, sebelum surat pemecatan diberikan, ia pernah didatangi petugas Inspektorat Jenderal Kemenag. Ia mengungkapkan Kemenag lebih fokus menggali soal kedisiplinan dan tidak membahas persoalan memakai cadar.
Hayati merasa ada sesuatu yang leatar belakangi terhadap pemeriksaan yang berujung pemecatan. Dia merasa tim Inspektorat Jenderal Kemenag berusaha mencari-cari kesalahannya.
Dalam surat pemecatan itu, Hayati disebut sering meninggalkan tanggung jawab mengajar sebagai dosen. Padahal, semula ia mendapat sorotan karena bercadar saat mengajar.
"Saya masih memikirkan banding karena minoritas akhirnya kalah juga. Karena data bisa dimanipulasi pihak kampus," ujar Hayati.
Hayati merasa alasan pemecatan ini tidak adil dan menilai Kemenag telah tebang pilih. Ia melihat ada banyak dosen yang mengajar juga sembari meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan tak dipermasalahkan.
Hayati menjelaskan tidak sepenuhnya meninggalkan tanggung jawab sebagai pengajar saat menempuh S3 hingga meraih gelar doktor dengan predikat cum laude yang ia peroleh. Ia mengatakan tugas bimbingan terhadap mahasiswa-mahasiswinya masih terus dijalankan. ***
R24/phi