Menu

NU Tegaskan Non-Muslim Bukan Kafir

Riko 1 Mar 2019, 13:53
Foto:  Internet
Foto: Internet

RIAU24.COM -  Salah satu yang dibahas dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama adalah masalah status non-Muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Masalah ini dibahas dalam Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah.

Munas ini diselenggarakan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari-1 Maret 2019. Musyawirin(peserta Munas) menilai, sebagai dasar negara, Pancasila berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya.

"Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara, yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis, bahkan agama," kata KH Abdul Moqsith Ghazali dalam sidang pleno Munas-Konbes NU 2019, melansir Beritasatu Kamis 28 Februari 2019 kemarin. 

Hal tersebut, kata KH Abdul Moqsith selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah. Menurut KH Abdul Moqsith Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa/umat, yang berdaulat di hadapan bangsa/umat lainnya, tanpa diskriminasi.

Sebelumnya, dalam sidang komisi Moqsith mengatakan, kafir seringkali disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri. Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia.

“Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.

Para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, akan tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurut dia, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan non-Muslim di dalam sebuah negara.

“Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain,” terang KH Abdul Moqsith.

Meskipun demikian, kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir.  “Tetapi memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia, rasanya kurang bijaksana,” kata doa

Pembahasan ini dilakukan mengingat masih adanya sebagian warga negara lain yang mempersoalkan status kewargaan yang lain.

“(Mereka) memberikan atribusi teologis yang diskriminatif dalam tanda petik kepada sekelompok warga negara lain,” pungkas KH Abdul Moqsith.