Wiranto Sebut UU Terorisme untuk Jerat Hoaks Politik, Pengamat: Nalar Keblinger
RIAU24.COM - Pernyataan Menkopolhukam RI, Wiranto, terkait penggunaan UU Terorisme untuk tangani hoaks politik, terus mendapat sorotan. Kali ini, datang dari Direktur The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya.
Ia menyesalkan wacana yang dilontarkan Wiranto tersebut. Menurutnya, acana tersebut justru dapat memantik keprihatinan banyak pihak, terutama dari komponen yang cukup paham terkait substansi UU Terorisme dan relasinya dengan persoalan pemilu.
"UU terorisme untuk pemilu, ini nalar keblinger?" ujar Harits seperti dalam keterangan tertulis yang diterima republika, Kamis 21 Maret 2019.
Harits menilai, jika melihat defenisi tentang terorisme sebagai yang tercantum dalam undang-undang, pernyataan Wiranto adalah tafsir subyektif terhadap definisi yang termaktub dalam UU Terorisme No 5 Tahun 2018. Berdasarkan UU Terorisme, ia menerangkan, terorisme dapat diartikan sesuatu yang menimbulkan ketakutan di masyarakat.
"Mengacu definisi tersebut, publik bisa menakar wacana Menkopolhukam Wiranto seperti yang terekam oleh banyak media," kata Harits.
Harits menerangkan penyebaran hoaks bukan kejahatan yang perlu dijangkau dengan UU Terorisme. Ia menambahkan penyebaran hoaks yang menyebabkan seseorang kehilangan hak pilih dapat djangkau oleh UU Pemilu.
Ditambahkannya, jika butuh payung hukum, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih relevan dengan persoalan hoaks.
Di sisi lain, ia mengatakan, tafsir Wiranto atas UU Terorisme menunjukkan pentingnya pembentukan Badan Pengawas seperti yang direkomendasikan aturan tersebut. Badan tersebut bisa memberikan fungsi pengawasan sehingga rezim pemerintah tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.
Untuk diketahui, Wiranto mengatakan bahwa penyebaran hoaks merupakan tindakan teror. Sehingga pemerintah pun bisa menerapkan UU Terorisme dalam menanggulanginya.
Pernyataan itu dilontarkannya saat memimpin Rakor Kesiapan Pengamanan Pemilu 2019, Rabu 20 Maret 2019 kemarin, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, hal itu juga ditanggapi Direktur Eksekutif lembaga Lokataru, Haris Azhar. Ia menilai, pernyataan Wiranto terkait tersebut mengada-ada. Sebab, tidak ada basis argumentasi yang jelas pada pernyataan tersebut.
"Panik karena jagoannya merasa terancam oleh orang-orang yang golongan putih (golput)," ujar aktivis hak asasi manusia (HAM) tersebut.
Semestinya, kata Haris, sebagai seorang menteri, Wiranto memiliki banyak sumber daya untuk menggali suatu ide atau pernyataan secara argumentatif akademik. Pernyataan itu pun seharusnya taat pada prinsip-prinsip konstitusi dan kebijakan publik. ***