Dipicu Diserang Israel, DPR Irak Minta Pasukan AS Hengkang
RIAU24.COM - Koalisi yang menguasai parlemen Irak menyerukan penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari Irak. Seruan ini muncul setelah serangkaian serangan udara yang dilaporkan dilakukan oleh Israel menargetkan milisi Syiah pro-Iran di negara tersebut.
Koalisi Fatah mengatakan Amerika Serikat bertanggung jawab penuh atas agresi pada hari Minggu yang diduga kuat darilakukan oleh rezim Zionis. "Yang kami anggap sebagai deklarasi perang terhadap Irak dan rakyatnya," kata koalisi tersebut.
Koalisi Fatah merupakan koalisi terkuat di parlemen Irak yang mewakili kubu milisi paramiliter pro-Iran yang dikenal sebagai Pasukan Mobilisasi Populer (PMF).
Pernyataan koalisi itu muncul sehari setelah serangan pesawat tak berawak atau drone di kota Qaim, Irak barat. Serangan yang menewaskan seorang komandan PMF itu merupakan serangan terbaru yang diduga kuat dilakukan oleh rezim Zionis di Irak.
Koalisi Fatah menambahkan bahwa pasukan AS tidak lagi dibutuhkan Baghdad.
Selain di Irak, serangan serupa juga terjadi di Lebanon dengan target kelompok Hizbullah yang merupakan sekutu Iran. Beirut menyatakan serangan drone dilakukan rezim Zionis dan dianggap sebagai deklarasi perang.
Kelompok milisi Syiah Irak telah mengadakan prosesi pemakaman untuk jenazah komandannya di Baghdad.
"Tidak ada Tuhan yang lebih besar selain Allah!," teriak para pelayat ketika mereka berbaris di belakang sebuah spanduk dengan tulisan "Matilah Amerika" dan "Matilah Israel". Beberapa orang menginjak bendera Amerika ketika mereka berbaris.
Pentagon mengeluarkan pernyataan pada Senin yang membantah bertanggung jawab atas serangan baru-baru ini di Irak. Pentagon berjanji akan bekerja sama dengan penyelidikan militer Irak.
"Kami mendukung kedaulatan Irak dan telah berulang kali berbicara menentang setiap tindakan potensial oleh aktor-aktor eksternal yang menghasut kekerasan di Irak," kata juru bicara Pentagon, Jonathan R Hoffman.
"Pemerintah Irak memiliki hak untuk mengendalikan keamanan internal mereka sendiri dan melindungi demokrasi mereka," ujarnya.
Kemarahan meningkat di Irak menyusul serentetan serangan udara misterius yang menargetkan pangkalan militer dan depot senjata yang diduga milik milisi Syiah pro-Iran.
Serangan drone belum diklaim oleh pihak mana pun, tetapi para pejabat AS mengatakan Israel berada di belakang setidaknya terhadap satu serangan.
Milisi-milisi Syiah menyalahkan rezim Zionis atas serangan-serangan di Irak, namun meminta Washington bertanggung jawab karena Israel adalah sekutu Washington.
Serangan-serangan itu mengancam stabilitas keamanan di Irak, yang berjuang untuk tetap netral dalam konflik antara Washington dan Teheran.
"Serangan-serangan ini tidak akan menghancurkan kita, mereka akan membuat kita lebih kuat," kata Letnan Jenderal Hussein Abed Muttar, seorang petinggi PMF, kepada The Associated Pressdi lokasi pemakaman, yang dilansir Selasa (27/8/2019).
Selain komandan PMF, serangan pesawat nirawak di Irak pada Minggu malam juga menewaskan anggota milisi Syiah lainnya. Serangan itu menargetkan kendaraan milik faksi Brigade Hizbullah, yang juga dikenal sebagai Brigade 45, yang beroperasi di bawah payung PMF.
Pasukan AS sejatinya telah ditarik dari Irak pada tahun 2011, tetapi kembali lagi pada tahun 2014 atas permintaan pemerintah Baghdad untuk membantu memerangi kelompok Islamic State atau ISIS. Kelompok itu pernah merebut wilayah yang luas di utara dan barat Irak, termasuk kota Mosul.
AS mempertahankan sekitar 5.000 tentaranya di Irak, dan beberapa kelompok bersenjata di Irak mengatakan tidak ada lagi pembenaran bagi pasukan Washington untuk berada di negara itu sekarang karena ISIS telah dikalahkan.
"Kami memiliki hak untuk menanggapi serangan Zionis ini, kami menuntut koalisi internasional, khususnya Amerika Serikat, bertanggung jawab penuh atas agresi ini yang kami anggap sebagai deklarasi perang terhadap Irak dan rakyatnya," bunyi pernyataan oleh Koalisi Fatah. .
Presiden Irak Barham Saleh telah menggelar pertemuan dengan para pejabat tinggi termasuk perdana menteri, ketua parlemen dan para pemimpin milisi PMF untuk membahas rentetan serangan udara baru-baru ini.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan setelah pertemuan itu cenderung tidak menyalahkan serangan pesawat tak berawak kepada negara tertentu. Namun, pernyataan tersebut menggambarkan serangan di Irak sebagai "tindakan agresi terang-terangan" yang bertujuan menyeret PMF menjauh dari perannya yang berkelanjutan untuk memberantas sisa-sisa kelompok ISIS.
Dua tokoh kuat di Irak yang bersekutu dengan Iran, Abu Mahdi al-Muhandis dan Qais al-Khazali tidak hadir dalam pertemuan. Seorang pejabat yang menghadiri pertemuan mengatakan kedua tokoh itu sedang berada di Iran.
Sumber: Sindonews