Warisan disiplin lalu lintas di Bumi Lancang Kuning
RIAU24.COM - Pagi itu untuk pertama kalinya Widiya (22), mahasiswi di Kota Pekanbaru memasuki kompleks Chevron Rumbai dengan sepeda motor bututnya.
Ia dicegat seorang petugas di depan gerbang masuk untuk menanyakan tujuan, lalu mempersilahkan melapor ke pos yang berada di sisi gerbang.
Sesuai aturan, Widiya harus menulis data diri dan meninggalkan salah satu kartu identitas seperti SIM atau KTP. Sebagai gantinya, ia akan mendapat kartu pas yang disediakan Chevron untuk pengunjung baru.
Di kawasan Chevron Rumbai ini berlaku aturan bahwa setiap pengendara kendaraan roda dua maupun empat yang hendak memasuki komplek tersebut wajib melapor di pos gerbang.
Selain itu, atribut berkendara juga harus lengkap misalkan menggunakan helm standar, jika satu saja kaca spion motor tidak ada atau lainnya maka pengunjung tidak diperbolehkan membawa serta tunggangannya masuk. Dia harus meninggalkannya di pos gerbang. Atau lebih baik pulang karena salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi.
Seorang pengunjung mengisi buku tamu di pos pemeriksaan komplek PT Chevron Pacific Indonesia di Rumbai, Kota Pekanbaru, Riau. (Antaranews/Riski Maruto/19)
Usai melapor, Widiya melanjutkan perjalanannya menuju Rumbai Country Club sebuah gedung yang sering digunakan tempat pertemuan, letaknya agak jauh ke dalam kompleks. Dengan sedikit keberanian karena jalanan nampak lengang, Widiya melaju seolah tak peduli dengan tanda rambu-rambu lalu lintas di sekitarnya. Tanpa disadari, motornya yang dinaikinya hampir menyusul mobil yang lebih dahulu masuk saat ia di pos tadi.
Namun tiba-tiba gundukan polisi tidur yang melintang di jalan dan memaksanya mengendorkan genggaman tangan kanannya untuk menurunkan kecepatannya. Widiya tersadar dan melihat tidak jauh di tepi jalan tampak ada papan elektrik bertuliskan angka digital yang nilainya bergantian antara 45 hingga 50.
Cukup lama Widiya berpikir guna memahami apa arti angka digital yang muncul di layar tersebut. Ternyata itu adalah mesin digital penunjuk kecepatan kendaraan yang melintas di dekatnya atau radar batas kecepatan.
"Artinya motor saya melaju melebihi dari aturan rambu-rambu yang diperingatkan di awal masuk tadi, 40 km per jam," ujar Widiya malu-malu.
Diakuinya, ini pengalaman pertama merasakan situasi berlalulintas yang berbeda di Riau, khususnya Kota Pekanbaru, dan hanya ditemukan di kawasan Chevron. Di mana semua kendaraan melintas dengan tertib tidak ada yang melebihi kecepatan, bahkan nyaris tidak ada yang berani saling mendahului, seperti yang biasa terjadi di jalan raya pada umumnya.
Tidak sampai di situ, ia juga kaget saat menjumpai setiap mobil atau motor harus berhenti atau memelankan lajunya di persimpangan tanpa diperintah walau jalanan sepi tidak ada lawan.
"Ternyata di sana dilengkapi rambu-rambu tanda stop. Hal ini sangat dipatuhi semua pengendara, termasuk orang baru seperti saya yang harus mengikutinya, tambahnya.
Terapkan UU Berlalulintas
Sejak beroperasi di Provinsi Riau sekitar tahun 1950-an, PT Chevron sudah konsisten mengimplementasi aturan berlalulintas bagi semua karyawan dan keluarganya baik saat berada di area kerja maupun permukiman, tujuannya jelas untuk menciptakan keselamatan dan menekan kecelakaan kerja.
Walau awalnya masih mengadopsi UU Lalu Lintas dan Angkutan di masa pemerintahan Hindia Belanda, namun seiring waktu terus berubah mengikuti aturan hingga UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang kini berlaku.
Selama Chevron beroperasi di Riau, UU berlalulintas menjadi harga mati bagi perusahaan dalam menjalankan operasionalnya baik di lingkungan kerja maupun permukiman. Aplikasi penerapan undang undang tertib berlalulintas tersebut bisa dilihat pada empat wilayah kompleks permukiman Chevron, masing-masing di Rumbai, Minas, Duri, dan Dumai serta semua area operasi migas mereka.
Tak ayal, hal ini yang membuat Chevron sebagai perusahaan yang tiap tahun menerima penghargaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dari pemerintah karena nihil kecelakaan aliaszero accident.
Wiber, seorang sopir yang bekerja puluhan tahun di salah satu perusahaan kontraktor Chevron berlokasi di Duri dan Minas, (Antaranews/Riski Maruto/19)
Wiber (40) salah satu sopir yang bekerja puluhan tahun di salah satu perusahaan kontraktor Chevron berlokasi di Duri dan Minas, mengaku tidak mudah untuk membangun dan menanamkan disiplin berkendara seperti yang ditetapkan perusahaannya. Kondisi itu berbeda jauh dengan apa yang dialaminya di jalan raya.
Namun lewat jam terbang serta ketatnya aturan yang diberlakukan dalam menjalankan tugas kebiasaan itu akhirnya terbawa hingga ia keluar kawasan perusahaan.
"Sejak saya jadi sopir di kontraktor Chevron, berbagai kendaraan sudah saya bawa, tetapi aturan berlalulintasnya tetap ketat dan baku," ujar Wiber.
Tidak mudah baginya untuk bisa bekerja sebagai sopir pada perusahaan migas tersebut, selain SIM, ia juga harus miliki kartu pengemudi (Kape) yang diterbitkan oleh perusahaan. Untuk mendapatkan Kape, ada berbagai tes yang harus dijalani dengan syarat mampu menerapkan lima kunci keselamatan yakni pandangan jauh ke depan, gambaran luas, pandangan berpindah-pindah, dapat menghindar, dan dapat terlihat orang.
Ia justru bersyukur karena mendapatkan ilmu dan kedisiplinan yang baku dalam berkendara sehingga bisa menekan tingkat lakalantas.
Budayakan Disiplin Berlalulintas
Seorang perwira pertama polisi Polresta PekanbaruAKP Ratnawilis bahkan menyakini semua aturan dan tata tertib yang diterapkan Chevron bagi pengendara di kawasan mereka sangat baku sesuai dan sudah mengacu pada undang-undang keselamatan di jalan raya.
Selain itu perusahaan migas tersebut juga berupaya menjadikan disiplin berlalulintas sebagai budaya bagi semua karyawan, mitra kerja dan keluarga yang berhubungan dengannya, bukan karena keterpaksaan atau takut akan petugas atau hukum. Kondisi itu diharapkan akan terbawa saat berkendaraan di mana saja meski di luar areal perusahaan.
"Tata kelola berlalulintas di komplek Chevron bagus sekali," kata Kasubnit Dikyasa Satlantas Polresta Pekanbaru AKP Ratnawilis beberapa waktu lalu.
Gerbang pemeriksaan kendaraan di komplek PT Chevron Pacific Indonesia di Rumbai, Kota Pekanbaru, Riau. (Antaranews/Riski Maruto/19)
Misalkan saja di jalan antar kompleks milik Chevron, Rumbai dan Minas yang jaraknya sejauh 40 km. Jalan itu sering digunakan masyarakat Pekanbaru sebagai perlintasan untuk memotong jarak agar lebih dekat jika hendak ke Duri, setiap mobil yang masuk tetap harus ikut aturan tertib berlalulintas. Mereka akan dicatat waktunya, dan dicek kembali saat berada di pos keluar.
Di jalan ini speed limit-nya 70 km/jam, boleh kurang tapi tak boleh lebih, dan dengan kecepatan maksimum maka waktu tempuhnya ialah sekitar 30-40 menit. Saat di pintu keluar akan dicek lagi waktunya. Jika waktunya berkurang siap-siap kena catat dan ditindak petugas.
Mobil yang tercatat berkali-kali maka akan mendapat catatan khusus dan ditindak sesuai aturan perusahaan. Salah satunya, bisa diturunkan jabatan, untuk karyawan bisa jadi malu karena mereka akan diketahui atasan dan untuk ibu-ibunya bisa dijadikan bahan gosip. Benar-benar cara yang cerdas untuk memantau lalu lintas, tidak usah pakai kamera CCTV, petugas patroli, tetapi menimbulkan budaya malu.
Menurut Guru Besar Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Prof. Sugeng Wiyono, karakter berlalu lintas yang dikehendaki adalah tertib, berkeselamatan, aman dan lancar. Tertib diartikan mengikuti aturan/ketentuan yang berlaku, berkeselamatan di sini meliputi kendaraan yang berkeselamatan, jalannya juga berkeselamatan dan juga termasuk prilaku pengguna jalan yang berkeselamatan sehingga akan tercipta keamanan dan kelancaran berkendara.
Hal inilah yang ditekankan oleh Chevron yakni perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan (safer people) sesuai UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.
Sarana Memadai
Setelah diamati, kunci keberhasilan Chevron dalam menerapkan aturan berlalulintas adalah pada sistem controlling dan penegakan peraturan yang ketat, sarana dan prasarana yang memadai, dan masih adanya budaya malu.
Jalan-jalan yang ada semuanya didesain rapi, bersih, dan mulus. Rambu-rambu yang ada pun lengkap, jelas dan tidak membingungkan. Sistem controllingnya juga ketat, misalkan untuk kecepatan berkendaraan dalam lingkungan tersebut ditentukan maksimum 40 km/jam dan semua mobil perusahaan dipasang Global Positioning System (GPS). Sehingga apabila terjadi pelanggaran semuanya akan kelihatan. Kalau dilanggar, sensor pun akan berbunyi dan langsung terhubung ke sistem yang akan dievaluasi setiap bulan.
Prof Sugeng Wiyono membenarkan dalam menerapkan disiplin berlalulintas Chevron mempunyai slogan safety riding dengan cara melihat jauh, pandangan luas, menggerakkan mata, jaga jarak aman dan pastikan terlihat oleh pengendara yang lain.
Spanduk terkait safety riding juga terlihat hampir di setiap sudut area kompleks Chevron. Dengan demikian, disiplin berkendara akan terbentuk, apalagi anak-anak yang besar di tempat itu tentu nantinya diharapkan memiliki budaya berbeda dibandingkan dengan pengendara di luar sana.
"Untuk penerapan aturan ini survei awal dilakukan pada tempat 'blank spot' pada jalan yang terkait dengan operasional mereka. Guna melihat perilaku pengguna kendaraan yang berkeselamatan. Hasilnya memberikan rekomendasi apa yang penting untuk dilakukan untuk mengurangi bahkan menghilangkan kecelakaan di jalan," ujar Sugeng.
Akankah Jadi Warisan?
Komplek PT Chevron Pacific Indonesia di Rumbai, Kota Pekanbaru, Riau. (Antaranews/Riski Maruto/19)
Sekarang pertanyaannya ialah bagaimana membuat kondisi lalu lintas Chevron itu jadi budaya juga di luar komplek, dan akankah warisan itu tetap ada dan berlangsung setelah Chevron tidak lagi beroperasi di Bumi Lancang Kuning.
Sugeng meyakinkan hal itu bisa dilakukan karena sebenarnya slogan budaya berkeselamatan di jalan sudah menjadi slogan polisi lalu lintas, namun penerapannya saja yang masih kurang.
Disiplin ini juga bisa dilaksanakan di luar kompleks, jika forum Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) menerapkan dengan konsisten semua aturan yang sudah dibuat.
Selanjutnya guna mewujudkan itu Prof menyarankan beberapa hal yang harus dilakukan yakni, hasil survei road safety yang sudah didapat ini dikomunikasikan dengan forum LLAJ Provinsi Riau dalam hal ini Dishub, PU, Jasa Raharja, kelompok masyarakat lalulintas seperti Organda, otomotif, universitas, Diskes, LSM dan lain-lain.
Untuk mendapatkan satu komitmen dalam menjalankannya. Lalu jika itu sudah disepakati, maka bisa langsung dilakukan aksi dengan berkoordinasi bersama stakeholder yang lain, melalui koordinasi forum LLAJ.
Kemudian yang paling penting adalah sosialisasi dengan masyarakat atau kelompok sebagai pengguna jalan raya lewat setiap momen. Serta terakhir, tentunya yang wajib dipenuhi yakni pemasangan banner atau spanduk-spanduk tentang road safety (keselamatan jalan, safer road (jalan berkeselamatan), safer vehicle (kendaraan yang berkeselamatan), safer people (pengguna jalan yang berkeselamatan).
"Sehingga saat perusahaan Chevron berakhir tahun 2020 tidak akan jadi masalah kalau pelaksanaannya tetap diwariskan, karena sudah melibatkan stakeholder yang terkait," pungkasnya.
Pepatah mengatakan gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Semoga disiplin berlalu lintas kelak ditinggalkan Chevron di Bumi Melayu ini.
Artikel ini pertama kali tayang di Antara Riau dengan judul: Warisan disiplin lalu lintas di Bumi Lancang Kuning