Uni Eropa Bakal Gugat Indonesia Karena Larang Ekspor Nikel, Ternyata Ini Penyebabnya, Benar-benar Bikin Kaget
RIAU24.COM - Rencana Uni Eropa (UE) yang bakal menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), saat ini marak disorot. UE tampaknya gerah dengan kebijakan Indonesia yang bakal menyetop ekspor bijih nikel mentah. Larangan itu, akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2020 mendatang.
Pertanyaannya, mengapa UE begitu gerah dengan sikap Indonesia itu? Jawabannya benar-benar bikin kaget. Sebaiknya simak secara menyeluruh penjelasan di bawah ini. Penjelasan ini sekaligus akan menambah wawasan, betapa kayanya Indonesia. Benar-benar bikin kaget sekaligus membuka mata.
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir nikel terbesar dunia. Indonesia menguasai sekitar 27 persen pasar global. Negara produsen nikel lainnya yakni Amerika Serikat, Australia, Bolivia, Brasil, China, dan beberapa negara Afrika. Namun selama puluhan tahun, Indonesia hanya mengekspor nikel mentah.
Dilansir kompas, Rabu 18 Desember 2019, UE akan sangat membutuhkan nikel. Seperti dituturkan Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, belum lama ini, nikel akan menjadi mineral yang sangat berharga di masa depan. Hal itu tidak terlepas dengan semakin berkembangnya kendaraan listrik.
Asal tahu saja, saat ini Eropa memang tengah giat-giatnya mengembangkan teknologi ini, karena dinilai lebih ramah lingkungan. Dengan demikian, Eropa akan sangat membutuhkan mineral yang satu ini.
Nikel adalah salah satu logam terbesar dalam pembuatan baterai listrik. Lithium-ion ibarat jantung dari revolusi mobil listrik. Kandungan baterai lithium-ion itu, terdiri dari anoda, katoda, dan elektrolit. Nikel merupakan komponen logam yang dominan dalam komposisi baterai listrik, khususnya katoda.
"Selama dua dekade terakhir, produsen telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam komponen bahan baku utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel relatif lebih murah," ungkap Enrico.
Bahkan dengan teknologi baterai lithium-ion yang semakin berkembang seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik, kandungan nikel diprediksi akan semakin besar. Sebab nikel memiliki penyimpanan daya yang lebih baik.
Peningkatan kandungan nikel dalam komposisi baterai akan meningkatkan kepadatan energinya sehingga mobil listrik akan memiliki kemampuan jarak tempuh yang lebih jauh.
Bagi Indonesia, nikel merupakan komoditas mineral yang sangat strategi di pasar dunia bersama timah dan batubara.
Dengan mengolah bijih nikel di peleburan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan yang jauh berlipat, dibanding mengekspor bijih nikel yang masih berupa 'tanah'.
Dengan mengolah bijih nikel menjadi feronikel, misalnya, harganya dapat meningkat dari 55 dollar AS per ton menjadi 232 dollar AS per ton, atau memberikan nilai tambah sekitar 400 persen.
Nilai ekspor bijih nikel Indonesia ke Uni Eropa mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.
Yang unik, China meskipun memiliki cadangan nikel yang besar, selama puluhan tahun lebih banyak mengimpor bijih nikel dari Indonesia dan negara produsen lain. Negeri Panda menyerap lebih dari 50% produksi nikel dunia untuk kebutuhan industrinya.
Sementara itu, setelah rencana larangan ekspor bijih nikel, China bersikap lebih kooperatif dibandingkan Uni Eropa. Pasalnya, negara ini jauh-jauh hari sudah mengamankan pasokan feronikel, salah satu hasil pemurnian bijih nikel, dengan menanam banyak modal untuk pembangunan smelter di Indonesia. Sehingga dengan demikian, China berharap kebutuhannya akan nikel tetap terjaga.
Nah, sudah terbayang kan betapa strategisnya nikel pada masa depan? ***