Ketika Terdakwa Korupsi Rp37,8 Triliun tak Kunjung Tertangkap, Sidangnya Jadi Begini
RIAU24.COM - Jaksa Penuntut Umum (JPU) akhirnya membacakan dakwaan terdakwa korupsi Rp37,8 triliun terhadap Honggo Wendratno. Tuntutan dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (2/3/2020) kemarin. Namun, tidak ada sosok Honggo, yang merupakan Direktur Utama PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) tersebut. Sehingga tuntutan itu hanya ditujukan kepada kursi kosong. Sedangkan sosok Honggo sendiri, saat ini masih menghilang dan jadi buronan Polri.
Secara hukum, sidang seperti itu disahkan, istilahnya, sidang in absentia (sidang tanpa kehadiran terdakwa). Untuk diketahui, selain Honggo, kasus ini juga menjerat mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono.
Menyikapi kondisi itu, guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, mengaku punya kekhawatiran sendiri. Soalnya, meski sidang itu sah, namun bukan berarti tanpa catatan. Yang pasti, kondisi ini
menderai proses persidangan secara langsung.
"Yang kita kawatirkan kan terdakwa di luar negeri 'ketawa-ketawa' melihat peradilan kita," kata Prof Hibnu Nurgroho, dilansir detik, Selasa 3 Februari 2020.
Dikatakannya, persidangan in absentia merupakan perkecualian dalam sistem hukum di Indonesia. Sidang in absentia digelar bila terdakwa benar-benar lenyap bak ditelan bumi.
"Ini bisa dilakukan apabila terdakwa betul-betu tidak ditemukan artinya raib. Konsep raib, betul-betul tidak diketemukan," paparnya lagi.
Untuk diketahui, sosok Honggo sendiri sudah diburu Mabes Polri sejak 2015 silam. Namun hingga kini, yang bersangkutan tak kunjung tertangkap. Sebelumnya, Hongga dikabarkan sempat menjalani perawatan kesehatan di Singapura. Namun belakangan, sosoknya lenyap tak berbekas. Otoriras Singapura juga membantah Honggo bersembunyi di negaranya.
"Jadi kalau terdakwa ada di luar negeri yang karana kemampuan penegak hukum tidak bisa menghadirkan, maka hal tersebut sangat mencederai peradilan langsung," ujar Hibnu.
Guna menjaga kewibawaan hukum, maka penyidik harus bisa menjelaskan di muka hakim mengapa gagal menangkap terdakwa. Alasan itu harus bisa diterima sehingga peradilan in absentia bisa diterima secara hukum.
"Oleh karena itu penegak hukum harus betul menjelaskan bahwa segala upaya telah dilakukan, baik dengan intetpol, perjanjian-perjanjian antar negara sudah lakukan, tetapi ternyata tidak diketemukan," pungkas Hibnu.
Untuk diketahui, Honggo-Raden-Djoko didakwa bersama-sama korupsi Rp 37,8 triliun. Uang itu digunakan untuk penyelematan PT TPPI.
Dalam sidang Senin kemarin, Raden mengatakan hal itu sesuai arahan Wapres Jusuf Kalla pada tahun 2008 silam. JK menyatakan apa yang dilakukan PT TPPI adalah kebijakan negara dan kasus PT TPPI adalah kasus perdata.
"Kebijakan yang ditempuh saat itu untuk mengurangi impor BBM dan memanfaatkan TPPI yang merupakan industri petrochemical yang sahamnya mayoritas milik Pertamina. Jadi Raden Priyono menjalankan kebijakan pemerintah," ujar jubir JK, Husain Abdullah pada 27 Februari 2020. ***