Pemerintah Naikkan Iuran BPJS, Fadli Zon: Itu Keputusan yang Jahat.....
RIAU24.COM - Kecaman keras kembali datang dari anggota DPR RI Fadli Zon. Hal itu masih terkait kebijakan pemerintahan Jokowi yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
“Di tengah pandemi COVID-19, yang telah menekan perekonomian masyarakat, di mana semua sektor dan pelaku ekonomi saat ini sedang terpukul, keputusan pemerintah untuk menaikan iuran BPJS ini, menurut saya, adalah sebuah keputusan yang jahat sekali. Absurd,” kecamnya, dalam rilisnya yang dilansir sindonews, Sabtu 16 Mei 2020.
Ada dua alasan kenapa keputusan itu dianggap jahat. Pertama, salah satu alasan kenapa MA membatalkan Perpres No. 75/2019 karena MA menilai kenaikan iuran di tengah kondisi ekonomi sedang lemah sangatlah tak tepat.
“Bayangkan, sebelum terjadinya pandemi saja kenaikan iuran itu sudah dianggap tidak pantas, kenapa sesudah kondisi kita kian memburuk, pemerintah justru kembali menaikkan tarif? Apa namanya kalau bukan jahat?” ujarnya.
Kedua, pada akhir Maret lalu, pemerintah baru saja menerbitkan Perppu No. 1/2020 tentang Penanganan COVID-19, yang isinya memberikan legitimasi bagi pelebaran defisit serta penambahan anggaran sebesar Rp405,1 triliun.
Dengan tambahan anggaran sebesar itu, pemerintah seharusnya tidak perlu lagi membebani rakyat dengan kenaikan tarif BPJS.
“Sebab, mestinya prioritas penggunaan anggaran tadi kan untuk belanja kesehatan masyarakat, termasuk untuk nomboki BPJS. Ini kan aneh. Di satu sisi anggaran belanja ditambah dengan dalih darurat kesehatan, namun beban iuran kesehatan masyarakat justru ditambah hampir seratus persen. Sungguh ironis,” tandasnya.
Melihat hal di atas, Fadli balik mempertanyakan Jadi, anggaran yang besar tersebut.
Jadi untuk belanja apa sebenarnya, kalau tidak digunakan untuk membantu belanja kesehatan dasar seperti BPJS ini, ujarnya lagi.
Kenaikan hampir 100% tarif BPJS di tengah pandemi ini kian menguatkan kecurigaan banyak pihak kalau tambahan anggaran APBN 2020 lebih dari Rp400 triliun yang dirancang oleh pemerintah sebenarnya tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan yang lain.
“Apalagi, kalau kita membaca Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang ditandatangani Presiden pada 9 Mei 2020 lalu, yang mematok anggaran Rp318 triliun bagi pemulihan ekonomi nasional. Anggaran itu habis untuk membiayai restrukturisasi kredit, rekapitalisasi perbankan, relaksasi pajak, serta menalangi modal BUMN (Badan Usaha Milik Negara),” paparnya.
Melihat hal itu, Fadli menilai,
Anggaran publik tidak digunakan untuk menolong sebagian besar masyarakat, tetapi malah digunakan untuk menolong korporasi dan BUMN.
“Menurut saya, ini tragis sekali. Darurat kesehatan digunakan untuk mencaplok anggaran publik secara besar-besaran, bukan untuk belanja kesehatan itu sendiri, tapi untuk belanja kepentingan oligarki ekonomi,” ujarnya.
Jadi, kalau presiden dan pemerintahan ini merasa masih memiliki empati dan nurani, Perpres No. 64/2020 sebaiknya segera dicabut. Apalagi, presiden seharusnya bisa jadi contoh praktik taat terhadap hukum.
“Patuhilah putusan MA, jangan malah mengakalinya dengan menerbitkan Perpres No. 64/2020,” tandasnya. ***