Mulai dari Utang, Biaya Proyek hingga Sita Aset Negara Begini Sisi Lain Jurus Cina Menguasai Dunia
RIAU24.COM - Pertumbuhan pesat Cina sebagai negara superpower memang mengejutkan banyak pihak. Tak hanya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya gusar hal tersebut juga menguatkan pengaruh Cina di mata global. Salah satunya lewat skema pemberian uang bagi negara-negara berkembang untuk membangun proyek-proyek besar mereka.
Saking banyaknya pinjaman yang diberikan oleh Cina, istilah Debt-Trap Diplomacy atau diplomasi perangkat utang kemudian muncul untuk menyoroti hal tersebut. Terlebih dengan adanya proyek One Belt One Road (OBOR) alias jalur Sutera modren, Cina banyak mengucur pinjaman guna membangun infrastruktur dibanyak negara.
Melansir dari Bombastis berikut sisi lain utang yang jadi Jurus Cina kuasai Dunia, yang dimulai dari biayai proyek hingga sita aset Negara.
Aset dalam negeri yang akhirnya dikuasai Cina karena adanya gagal bayar
Di antara besarnya pinjaman yang diberikan oleh Cina, beberapa negara ternyata mengalami gagal bayar, seperti Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka dan Pakistan. Alhasil, beberapa aset dan kepentingan dalam negerinya terpaksa disita atau digunakan untuk kepentingan Cina. Zimbabwe sendiri terpaksa mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang sebesar US$40 juta kepada Cina.
Sedangkan Sri Lanka harus rela melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Untuk Nigeria, negara tersebut terpaksa menerima syarat penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal Cina untuk pembangunan infrastruktur dalam negerinya. Pakistan juga akhirnya menyerahkan Pelabuhan Gwadar yang ironisnya dibangun bersama-sama dengan Cina.
Negara-negara yang diberi utang oleh Cina untuk biayai infrastruktur dalam negeri
Cina gencar memberikan pinjaman atau utang dalam jangka waktu tertentu pada negara-negara berkembang, guna menggenjot pembangunan infrastruktur dalam negeri mereka. Pertama ada Pakistan lewat proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) sebesar US$62 miliar, kemudian megaproyek Pelabuhan Magampura Mahinda Rajapaksa di Sri Lanka, sebesar US$1,5 miliar.
Di Asia Tenggara, pinjaman juga diberikan pada Laos lewat proyek jalur kereta api Vientiane-Boten Laos sebesar US$5,95 miliar, pembangunan proyek kereta sepanjang 640 kilometer di Malaysia senilai US$10,7 miliar, serta proyek-proyek besar yang ada di Indonesia.
Kondisi Indonesia yang juga memiliki utang pada Cina
Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total utang pemerintah hingga April 2020 mencapai Rp5.172,48 triliun. Meningkat sebanyak Rp644,03 triliun atau 14,22 persen dari tahun lalu. Dilansir dari Wartaekonomi (04/03/2020), Jepang adalah pemberi utang terbanyak pada Indonesia dengan total nilai US$12,08 miliar.
Jumlah terbesar lainnya disusul oleh Jerman (US$2,7 miliar), Perancis (US$2,4 miliar), Cina (US$1,7 miliar) Korea Selatan (US$1,1 miliar), Amerika Serikat (US$851 juta), Singapura (US$552 juta), dan Australia (US$372 juta). Dari statistik di atas, Cina bukan menjadi negara dominan yang memberikan utang pada Indonesia.
Meski dikenal kerap mengucurkan pinjaman kepada negara-negara berkembang, Cina di sisi lain juga memiliki utang yang luar biasa besar. Berdasarkan laporan South China Morning Post, negeri Tirai Bambu itu memiliki utang sebesar US$40 triliun atau Rp558 ribu triliun (US$1 = Rp 13.967) pada 2019 silam.
Kekhawatiran para tokoh dunia terhadap utang yang diberikan Cina
Adanya potensi gagal yang bayar yang telah dialami sejumlah negara di Asia hingga Afrika, membuat beberapa tokoh dunia mulai menyikapi utang Cina tersebut dengan serius. Salah satunya datang dari mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, yang memperingatkan Filipina agar jangan sampai terjerat jebakan utang Cina.
Pemimpin Maladewa Mohamed Nasheed bahkan menyebut dominasi Cina lewat utang di negaranya seperti “perebutan tanah” dan “penjajahan”. Hal ini terjadi lantaran utang negeri kepulauan Lautan Hindia itu mencapai 80 persen. Lantas, bagaimana dengan Indonesia yang juga memiliki utang pada Cina.