Kabar Panas dari Senayan, DPR Rencanakan Ambang Batas Parlemen Capai 7 Persen, Langsung Tuai Protes dan Kritikan
RIAU24.COM - Kabar yang cukup membuat panas dinamika politik di Tanah Air, datang dari Gedung Dewan Senayan. Hal itu
setelah DPR mulai mengkaji kenaikan angka ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dari yang berlaku saat ini yakni 4 persen menjadi 7 persen.
Meski baru wacana, protes dan kritikan terhadap wacana itu langsung bermunculan. Bisa ditebak, protes datang dari sejumlah partai politik. Sedangkan kritikan, juga datang dari beberapa pihak.
Dilansir detik, salah satunya datang dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang menilai menaikkan ambang batas membuat hasil Pemilu jadi tidak proporsional.
"Pengaturan ambang batas yang terlalu tinggi, 7 perse itu akan menyebabkan hasil Pemilu yang makin tidak proporsional (disproporsional)," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Angraini, Rabu (10/6/2020) kemarin.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ambang batas 7 persen merupakan batas yang tinggi dan dapat menyebabkan suara sah pemilih jadi terbuang percuma. Ia kemudian menggambarkan, dengan ambang batas 4 persen saja dalam Pemilu 2019 lalu, sudah mengakibatkan lebih dari 13 juta suara sah terbuang begitu saja.
"Itu adalah ambang batas yang tinggi. Pemberlakuan angka ambang batas yang tinggi di pemilu kita, bisa berdampak membuat makin banyak suara sah pemilih yang sudah diberikan di Pemilu menjadi terbuang (waisted votes) karena tidak bisa diikutkan dalam penentuan perolehan kursi," terangnya lagi.
"Ini akan berdampak pada makin tingginya disproporsionalitas sistem pemilu kita dan pada akhirnya bisa berakibat pada distorsi atas suara dan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan PT 4 persen pada Pemilu 2019 lalu saja mengakibatkan 13.595.842 suara yang terbuang. Apalagi kalau 7 persen," ujarnya lagi.
Tak hanya itu, jika wacana PT yang baru itu benar-benar diterapkn, Titi menilai hal itu juga bisa memicu ketidakpuasan politik. Hingga dapat menyebabkan praktik politik uang yang dilakukan partai agar lolos ke parlemen.
"Ini juga bisa memicu terjadinya ketidakpuasan politik dari para pihak yang merasa suaranya tidak terwakili, pada akhirnya ketidakpuasan itu bisa tereskalasi pada rongrongan terhadap stabilitas politik dan praktik demokrasi kita. PT yang yang tinggi juga bisa memicu praktik politik uang karena partai-partai yang menjadi pragmatis dan melakukan segala cara untuk lolos parlemen, termasuk juga cara-cara transaksional, jual-beli suara (vote buying)," kata Titi.
Menurutnya, ambang batas bukan menjadi metode yang tepat untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Cara yang tepat adalah dengan sistem pendekatan penyederhanaan besaran daerah pemilihan serta formula perolehan kursi.
"Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen/ambang batas perwakilan sesungguhnya, bukan metode yang tepat untuk menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen. Ambang batas perwakilan memang berhasil mengurangi jumlah partai politik di parlemen, tetapi berkurangnya jumlah partai politik di parlemen bukan berarti mengurangi fragmentasi politik di parlemen. Variabel yang tepat untuk menciptakan sistem multi partai sederhana di parlemen adalah besaran daerah pemilihan dan formula perolehan kursi," pungkasnya.
Makin Sempit
Sementara itu, pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menilai, kenaikan ambang batas parlemen tersebut sebagai upaya memikirkan diri sendiri.
"Saya kira upaya menaikkan ini adalah upaya memikirkan diri sendiri saja, bagaimana supaya kita ini tidak tersaingi oleh yang baru-baru. Bagaimana supaya kekuasaan politik itu, milik kita saja," lontarnya.
Tak hanya itu, dengan semakin tingginya ambang batas parlemen, akan semakin jauh pula dari prinsip kedaulatan rakyat. Hadar mencontohkan suara rakyat yang memiliki salah satu partai, tapi akhirnya tidak dapat terpilih karena terhalang oleh ambang batas yang tinggi.
"Karena apa, semakin tinggi threshold kita pasang, sebetulnya itu semakin kita menjauhkan dari yang apa namanya prinsip kedaulatan rakyat. Jadi yang saya maksudkan adalah rakyat itu yang menentukan sebetulnya di dalam pilihan-pilihannya," kata Hadar.
"Karena kalau rakyat itu sebetulnya ingin satu partai, tetapi partai itu belum besar atau itu partai khusus tertentu yang baru bukan partai yang sudah ada yang sudah besar, itu menjadi tidak bisa. Karena dia masih kecil dia baru bisa dapat suara mungkin 2%, 2,5%, jadi akan terhalangi dengan threshold ini, apalagi mau ditinggikan," sambungnya.
Selain itu, wacana itu juga menurutnya dapat memperlambat pertumbuhan atau perubahan negeri. Sebab, terhalang oleh adanya sistem ambang batas.
"Model seperti ini dengan threshold yang sangat tinggi, itu perubahan politik kita itu semakin sempit. Kalau masyarakat ingin ada perubahan, sudah capek dengan partai-partai yang ada nggak maju-maju negeri ini. Akan sangat sulit dengan sistem ini dia akan terhalangi," tuturnya.
Untuk diketahui, Komisi II DPR RI akan merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Beberapa hal yang akan dikaji adalah soal angka ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dari yang saat ini 4 persen menjadi 7 persen.
Seperti diterangkan Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa, ada beberapa alternatif besaran angka ambang batas parlemen yang diajukan dalam draf.
Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah batas suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
"Kalau di draf-draf itu kita ada 3 alternatif ya. Alternatif pertama ada yang 7 persen dan berlaku nasional. Alternatif kedua 5 persen berlaku berjenjang, jadi (DPR) RI 5%, (DPRD) Provinsi-nya 4%, Kabupaten/Kota 3%. Alternatif ketiga tetap 4 persen, tapi provinsi dan kabupaten/kota 0 persenseperti yang berlaku sekarang," jelasnya. ***