Sebut Tuntutan JPU Memalukan, Tim Advokasi Harap Majelis Hakim tak Terbuai Drama Sidang Kasus Novel
RIAU24.COM - Banyak pihak yang terhenyak, setelah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) soal hukuman untuk pelaku aksi penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Dalam sidang yang digelar Kamis 11 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, JPU hanya menuntut kedua terdakwa, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, dengan hukuman satu tahun penjara.
Khusus terkait tuntutan JPU itu, Tim Advokasi Novel menyatakan hal itu bagaikan sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan masyarakat. Tidak hanya tuntutan tersebut sangat rendah, Tim Advokasi juga menilai tuntutan itu memalukan dan tidak berpihak pada korban kejahatan. Karena itu, Tim Advokasi Novel mengharapkan majelis hakim yang memimpin persidangan tidak sampai terbuai dalam drama yang tersaji dengan begitu gamblang tersebut.
"Terlebih ini adalah serangan brutal kepada Penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi. Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru Penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan," kata salah seorang anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, dilansir viva.
Ditambahkannya, sejak awal pihaknya sudah berulang kali mengungkap banyak kejanggalan dalam persidangan ini. Beberapa di antaranya, dakwaan Jaksa yang berupaya menafikan fakta kejadian yang sebenarnya dengan hanya mendakwa Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan terhadap kedua terdakwa.
Padahal teror yang dialami Novel berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Jaksa seharusnya mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Kejanggalan lainnya, JPU tak pernah menghadirkan saksi-saksi yang dianggap penting. Dari pengamatan pihaknya, setidaknya ada tiga saksi yang semestinya dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Namun faktanya, tiga saksi itu pun pernah diperiksa oleh Penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.
"Namun, Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi persidangan pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah Jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," ujarnya
Kejanggalan selanjutnya, peran penuntut umum yang terlihat justru seperti pembela para terdakwa. Hal ini disimpulkan ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa. Lebih dari itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun Jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Penyidik KPK ini.
“Semestinya Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru membuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," ujarnya.
Bukan untuk Keadilan
Padahal, Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas.
Karena itu, Tim Advokasi Novel Baswedan meminta Majelis Hakim tidak larut dalam sandiwara hukum ini. Majelis Hakim, katanya, sudah seharusnya melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan.
Selain itu, Tim Advokasi juga menuntut Presiden Joko Widodo untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen.
"Kami juga menuntut Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan," ujarnya lagi. ***