Sidang Dugaan Suap Bupati Nonaktif Bengkalis, Dua Ahli Pidana Berikan Pendapat Ini
RIAU24.COM - Sidang lanjutan dugaan korupsi jalan dengan terdakwa Bupati nonaktif Bengkalis Amril Mukminin menghadirkan saksi dari ahli pidana Universitas Riau, Erdiansyah, Kamis, 10 September 2020 di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Erdiansyah dihadirkan di hadapan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi dan majelis hakim PN Pekanbaru.
Erdiansyah dicecar terkait soal pengertian suap, gratifikasi hingga pasal-pasal dalam Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sejumlah pertanyaan yang dilontarkan mengarah ke dugaan suap Rp5,2 miliar terkait proyek Jalan Duri-Sei Pakning Bengkalis. Uang ini beberapa waktu lalu sudah dikembalikan Amril kepada negara melalui penyidik KPK.
Menurut Erdiansyah, suap punya niat jahat dalam suatu kegiatan terkait jabatan seseorang.
“Niat jahat itu jika diiringi niat baik, salah satunya dengan mengembalikan uang hasil tindak pidana, berarti tidak ada kerugian negara. Namun dari sisi pidana harus tetap dipertanggungjawabkan," ujar Erdiansyah.
Dalam kasus ini, Amril didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menerima gratifikasi terkait jabatannya saat masih menjabat anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2014 -2019, serta setelah menjadi Bupati Bengkalis 2016-2021.
Gratifikasi yang dimaksud KPK berasal dari pengusaha sawit Jonny Tjoa sebesar Rp12.770.330.650 dan dari Adyanto sebesar Rp10.907.412.755. Uang itu, diterima istri terdakwa secara tunai maupun ditransfer ke rekening bank atas nama Karmarni pada Bank CIMB Niaga Syariah nomor rekening 4660113216180 nomor rekening 702114976200.
Tudingan gratifikasi itu dibahas ahli pidana dihadapan hakim yang dipimpin Lilin Herlina. Selama sidang berlangsung, Asep dan pengacara Amril lainnya bertanya soal gratifikasi kepada Erdiansyah. Terutama terkait seorang yang menjalankan bisnis dengan pengusaha sebelum memangku jabatan sebagai kepala daerah.
Erdiansyah menjawab, selama perjanjian itu tidak menggunakan kekuasaan melekat tidak masuk pidana. Erdiansyah berpendapat itu merupakan ranah privat antara kedua belah pihak.
Apalagi perjanjian itu, kata Erdiansyah, ada akta notaris. Beda halnya dengan gratifikasi yang diberikan secara diam-diam tanpa ada perjanjian dan termasuk pendapatan tidak sah.
"Boleh saja seseorang berbisnis sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, sepanjang tidak menggunakan kekuasaan," jelas Erdiansyah.
Masih menurut Erdiansyah, perjanjian bisnis bisa berlangsung meskipun seseorang itu menjadi pejabat. Syaratnya harus dilaporkan dalam bentuk LHKPN (laporan hasil kekayaan penyelenggara negara).
LHKPN harus memuat dari mana sumber pendapatan dan ada item-item yang disebutkan detil. Baik itu yang ditransfer ataupun diterima secara tunai.
Erdiansyah juga ditanyai terkait seseorang yang menjadi pengepul sawit dari warga dan mendapatkan Rp10 per kilo. Usaha ini pernah dilakoni Amril sewaktu menjadi anggota DPRD Bengkalis.
“Itu tidak bisa dikatakan gratifikasi kalau ada perjanjian kerjasama dan akta notaris. Apalagi dalam perjanjian ada dimuat persenan yang diterima. Kalau setelah menjabat, hubungan privat masih berjalan itu tidak masuk gratifikasi," ucap Erdiansyah.
Hal yang sama juga disampaikan saksi ahli pidana lainnya, DR Zulkarnaen SH MH dari kampus Universitas Islam Riau.
“Jika beberapa poin perkara tidak bisa dibuktikan dalam persidangan, maka dakwaan bisa batal demi hukum. Konsekuensinya terdakwa harus dibebaskan,” katanya.
Terkait rekening Kasmarni yang berisi uang miliaran rupiah, Pengacara Amril, Asep Ruhiat memperlihatkan bukti laporan ke LHKPN, ke majelis hakim. Begitu juga dengan bukti perjanjian kerjasama Amril Mukminin dengan pengusaha sawit.
“Bukti rekening yang didakwa itu, sudah dilaporkan ke LHKPN pada Februari 2016,” kata Asep.