Terungkap, Ternyata Ini Alasa, Xiaomi Masuk Daftar Hitam AS
RIAU24.COM - Pada saat Donald Trump masih menjadi presiden, di bulan Januari lalu Xiaomi masuk dalam daftar hitam karena dianggap memiliki hubungan dengan militer China. Kini alasan sebenarnya di balik masuknya Xiaomi ke daftar hitam Amerika Serikat terungkap.
Dilansir dari Detik.com, tidak lama setelah di-blacklist pemerintah AS, Xiaomi membantah tuduhan itu dan mengatakan mereka tidak dimiliki, dikontrol atau memiliki hubungan dengan militer China.
Belum lama ini, Wall Street Journal melaporkan alasan sebenarnya di balik pencekalan Xiaomi lewat dokumen pengadilan yang didaftarkan oleh Kementerian Pertahanan AS. Dokumen itu menyebutkan Xiaomi dicekal karena penghargaan yang diterima pendiri dan CEO-nya Lei Jun dari pemerintah China.
Untuk diketahui, pada tahun 2019, Lei menjadi satu dari 100 eksekutif di China yang menerima penghargaan 'Pembangun Sosialisme Luar Biasa dengan Karakteristik China' yang diberikan oleh Kementerian Industri dan Informasi Teknologi China (MIIT), seperti dikutip dari Phone Arena, Senin 8 Maret 2021.
Xiaomi juga mempromosikan penghargaan yang diterima Lei lewat halaman biografinya di situs resmi Xiaomi dan di laporan keuangan tahunannya. Dokumen ini juga menyebutkan investasi Xiaomi di bidang teknologi termasuk 5G dan kecerdasan buatan
Kementerian Pertahanan AS mengatakan MIIT adalah badan pemerintah yang mengatur 'fusi sipil-militer' China. Di bawah program ini, China bekerjasama dengan bisnis swasta untuk menciptakan teknologi yang bisa digunakan oleh militer.
Setelah dimasukkan dalam daftar hitam oleh pemerintahan Donald Trump, perusahaan dan investor AS tidak boleh lagi berinvestasi di Xiaomi dan harus divestasi sebelum 11 November 2021.
Akibat dari kebijakan ini sudah mulai dirasakan oleh Xiaomi. Baru-baru ini, vendor ponsel terbesar ketiga di dunia ini dihapus dari indeks global dan China oleh FTSE Russell mengikuti perintah eksekutif yang ditandatangani Trump.
Sementara itu Xiaomi tidak tinggal diam saja menghadapi kebijakan tersebut. Pada bulan Februari mereka menggugat pemerintah AS dan menyebut kebijakan ini sebagai melanggar hukum dan tidak konstitusional.