Setelah 60 Orang Tewas, China Baru Minta Militer Myanmar Redakan Ketegangan, Amerika Malah Sudah Berikan Sanksi
RIAU24.COM - China akhirnya 'turun gunung' dalam menangani krisis Myanmar. Negara yang selama ini dituding sebagai sekutu dekat junta militer Myanmar menyerukan 'penurunan ketegangan' dalam krisis Myanmar.
"Sekarang saatnya de-eskalasi. Saatnya diplomasi. Saatnya dialog," tegas Duta Besar China untuk PBB, Zhang Jun dikutip CNBC Indonesia dari AFP, Kamis (11/3/2021).
Pernyataannya disampaikan setelah Dewan Keamanan PBB setuju untuk mengutuk aksi represif militer Myanmar, yang kerap disebut Tatmadaw, dalam menangani unjuk rasa anti kudeta. China termasuk salah satu dari 15 anggota dewan.
Demonstran yang damai ditangani dengan kekerasan oleh aparat, tak jarang dengan tembakan senjata, karena di klaim kelompok huru-hara. Setidaknya sudah 60 lebih nyawa pengunjuk rasa melayang, dalam demo yang sudah dilakukan sejak Aung Sang Suu Kyi dikudeta 1 Februari.
"China telah berpartisipasi dalam (pernyataan) negosiasi secara konstruktif," kata Zhang.
"Penting agar anggota Dewan berbicara dalam satu suara. Kami berharap pesan Dewan akan kondusif untuk meredakan situasi di Myanmar," tegasnya lagi.
"Kebijakan persahabatan China terhadap Myanmar adalah untuk semua rakyat Myanmar. China siap untuk terlibat dan berkomunikasi dengan pihak terkait, dan memainkan peran konstruktif dalam meredakan situasi saat ini."
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) kembali menjatuhkan hukuman ke junta militer Myanmar. Kali ini ke dua anak Pemimpin TertinggiTatmadaw Jenderal Ming AungHlaing dikenai sanksi.
Dilansir Reuters, Kementerian Keuangan AS menjatuhkan sanksi bagi dua anak Min, yaitu Aung Pyae Sone dan Khin Thiri Thet Mon. Selain itu, Kemenkeu AS juga memberikan sanksi kepada enam perusahaan milik kedua anak jenderal itu, termasuk A&M.
AS juga memperketat pengawasan ekspor ke Myanmar. Di mana negeri Burma masuk ke dalam 'negara musuh' seperti Rusia dan China.
Ini akan berdampak pada kontrol ketat perdagangan, terutama ekspor sensitif seperti teknologi dan pertahanan. AS menyebut Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri Myanmar di antara penerima sanksi.***