Nadiem Makarim Cari Suaka Politik ke PBNU, Politisi PKB Sebut Percuma Kalau Tak Lakukan Hal Ini
RIAU24.COM - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mendatangi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk memberikan klarifikasi dan minta maaf mengenai masalah Kamus Sejarah Indonesia.
Langkah Nadiem ini diapresiasi Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Luqman Hakim. Namun menurutnya klarifikasi permintaan maaf yang dilakukan Mendikbud Nadiem Makarim kepada PBNU belum cukup melegakan. Apalagi jika pihak Mendikbud tidak menarik buku itu dan merevisinya.
Menurutnya, keluarga besar NU selama ini sering menjadi korban dari penyusunan sejarah yang manipulatif, tidak jujur dan selalu peran ulama dan organisasi NU. "Saya (dan juga keluarga besar NU) khawatir dalam penulisan Kamus Sejarah Indonesia masih akan merugikan umat Islam, khususnya NU," ujar Sekretaris Gerakan Sosial dan Kebencanaan DPP PKB ini.
Sebagai bukti, kata Luqman, Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 yang berisi fatwa bahwa hukumnya wajib bagi setiap orang Islam berjuang mempertahankan kemerdekaan melawan penjajah yang kembali datang, selama ini disembunyikan dari dokumen sejarah. Padahal Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 inilah awal mula adanya pertempuran Surabaya yang melahirkan hari Pahlawan 10 November. Tidak akan ada Hari Pahlawan 10 November jika tidak ada Resolusi Jihad NU 22 Oktoter.
Dalam konteks ini, lanjut dia, negara akhirnya mengakui sejarah Resolusi Jihad NU 22 Oktober setelah PKB sebagai kekuatan politik NU menjadi bagian penting dari kekuasaan pemerintahan Presiden Jokowi melakukan berbagi langkah meluruskan sejarah pertempuran Surabaya. Di sisi lain, selama Orde Baru yang disokong Golkar dan ABRI berkuasa, sama sekali tidak pernah diungkap sejarah Resolusi Jihad NU 22 Oktober ini.
"Saya, selama menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, juga tidak pernah menemukan penjelasan peristiwa Resolusi Jihad NU 22 Oktober di dalam pelajaran sejarah. Ini bukanlah kelalaian. Manipulasi sejarah ini bukan hanya disengaja, tetapi dilakukan secara sistematis oleh kekuatan politik dan ekonomi yang besar," ujarnya.