Kisah Jenderal Hoegeng, Sosok Polisi Jujur yang Kerap Mendapat Ancaman Pembunuhan Hingga Diguna-guna Koruptor
RIAU24.COM - Kisah Jenderal Hoegeng Iman Santoso kerap menjadi perhatian. Ia adalah sosok polisi antikorupsi. Sejak awal menjadi polisi, Hoegeng tak bisa diajak kompromi, apalagi disuap. Baginya hukum tak pandang bulu. Sikap lurus Hoegeng pun memantik kebencian, khususnya bagi para polisi korup. Ia bahkan pernah diguna-guna karena sulit dirayu.
Itu terjadi kala Hoegeng jadi Kepala Reskrim di Medan. Di penghujung tahun 1955, Hoegeng ditunjuk jadi Kepala Reskrim Kepolisian Provinsi Sumatra Utara. Penunjukan Hoegeng dilakukan langsung oleh Kapolri pertama, Jenderal R.S. Soekanto. Penugasan itu diberikan atas rekomendasi dari jaksa Agung Soeprapto yang merupakan kerabat dekat Hoegeng.
Soeprapto dalam hal itu mengetahui tindak-tanduk Hoegeng sebagai polisi yang berintegritas. Maka, Hoegeng diberikan tugas untuk memberantas korupsi, smokel (penyelundupan), dan perjudian di Medan. Tugas itu tak membuat nyali Hoegeng ciut meski sempat muncul keinginan untuk menolak penugasan dengan sederet alasan.
Setelahnya, Hoegeng mengambil tantangan sebagai polisi yang bekerja di bidang kriminal. Namun, sebelum berangkat Hoegeng mulai mencari banyak referensi terkait tempat penugasan baru. Agar hapal medan kerja, pikirnya. Pucuk dicinta ulam tiba. Paman Hoegeng, Abdulkadir Widjojoatmodjo telah mendengar penugasan Hoegeng yang baru.
Lantaran itu Hoegeng segera diminta berkunjung ke rumahnya. Di tengah kunjungan itu, paman Hoegeng segera mengenalkan Hoegeng kepada seorang keturunan bangsawan Melayu-Langkat yang juga perwira Polri, Teuku Aziz. Darinya Hoegeng banyak menggali Informasi. Beberapa di antaranya informasi mengenai situasi kriminal terkini di Sumut.
Begitu pula soal kelompok penguasa peta hitam perjudian dan penyelundupan di Medan, yang dalam bahasa Hoegengdisebut China Medan. Aziz meminta Hoegeng berhati-hati dengan China Medan karena biasanya pejabat kepolisian yang baru sering dikerumuni China Medan. Mereka sering memberi hadiah-hadiah menggiurkan supaya bisnis haram langgeng tanpa gangguan.
Tak lama setelah resmi menginjakkan kaki di Medan pada 1956, Hoegeng langsung beraksi. Ia menolak kompromi dan tak mau disuap oleh kelompok China Medan. Semakin hari Hoegeng makin paham pola kriminal di Medan. Dalam kegiatan perjudian dan smokel, misalnya. Rata-rata kegiatan itu dimodali dan diselenggarakan oleh China Medan.
Mereka juga banyak dilindungi (backing) oleh oknum-oknum ABRI juga polisi. Hoegeng tak peduli. Selama mereka melakukan kejahatan, maka Hoegeng berkewajiban memberantas China Medan dan “kacung-kacung” berseragam aparat penegak hukum.
Hoegeng lalu berkoordinasi dengan banyak pihak, seperti Kepala Bagian Mobile Brigade, AKP Mauluhi Sitepu dan Kepala Bagian Umum AKP Partoyo. Mereka kemudian bersama-sama dengan Hoegeng turun langsung ke lapangan untuk mengungkap ragam kasus kriminal.
“Karena tak mau berkompromi, Hoegeng juga tak jarang menghadapi ancaman pembunuhan. Salah satunya, saat Hoegeng dijadikan sasaran penembak jitu (sniper) ketika bertugas di kawasan pinggiran hutan di Kota Medan," tulis Aris Santoso dkk dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).
Dalam masa itu Hoegeng dan AKP Mauluhi Sitepu pernah hampir berhasil menangkap oknum polisi berpangkat Komisaris Polisi Kelas II yang bekerja sama dalam penyendupan dengan China Medan. Tak bisa terang-terangan melawan Hoegeng, polisi korup itu kemudian ingin balas dendam dengan cara tak biasa: ilmu hitam.
Imbasnya, Hoegeng sempat jatuh sakit, konon karena guna-guna. Semenjak sakit itu Hoegeng berpasrah diri pada Yang Maha Kuasa. Meski begitu dukun yang menjampi Hoegeng muncul dan minta maaf. Hoegeng disembuhkan dan si dukun justru mendapat maaf dari Hoegeng, bukan dihukum. Sementara sang polisi korup langsung meminta pensiun supaya tak dihukum berat.