Kisah Waloejo Sedjati Korban Politik Peristiwa G30S PKI, Dari Orang Buangan dan Jadi Dokter Spesialis Bedah Cemerlang di Perancis
Ia juga menjadi saksi kedatangan Ketua CC PKI, DN Aidit pada September 1963. Aidit saat itu menyerukan: “Kelak, kalau PKI menang, ya seperti Koreanya kawan Kim Il Sung inilah sosialisme Indonesia akan kami bangun”. Ucapan Aidit segera jadi bahan propaganda dalam negeri Korea Utara, dicetak khusus lalu disebarkan ke seluruh negeri. Harian partai Rodong Shinmun memuatnya sebagai headline, radio dan televisi menyiarkannya berulang-ulang.
Kunjungan terakhir petinggi Indonesia ke Pyongyang yang ia ingat adalah delegasi MPR yang dipimpin Ketua Chaerul Saleh di minggu keempat bulan September 1965, hari-hari menjelang sebuah peristiwa besar meletus di Tanah Air.
Beberapa hari sepulangnya delegasi MPR itu, pada 1 Oktober 1965 pagi, siaran radio Australia berbahasa Indonesia membawa kabar bagai bisul yang pecah di Pyongyang: Tanah Air berguncang oleh peristiwa G30S, penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat di Jakarta pada 30 September 1965, lewat tengah malam.
Dalam kebingungan yang galau, kata Waloejo, “kami orang-orang Indonesia di Pyongyang — ketika itu ada tujuh mahasiswa dan dua sarjana yang sedang melakukan riset — hanya bisa meraba-raba.”
Berhari-hari tak ada berita resmi, kecuali kabar dari radio-radio luar negeri. Bahkan KBRI di Pyongyang pun tak bisa menjawab. “Perasaan kami dicengkam kecemasan luar biasa,” kata Waloejo.
Begitulah. Waktu berjalan dalam ketidakpastian. Pada awal 1967, Waloejo mendengar seorang Kolonel Angkatan Darat dari Indonesia tiba di Pyongyang. Beberapa hari kemudian, Waloejo dan kawan-kawan menerima surat pencabutan paspor Indonesia. Ia tak menyesal. “Apa artinya paspor dicabut dibanding kawan-kawan di Indonesia yang dikejar, disiksa dan dicabut nyawanya?”