Kisah Waloejo Sedjati Korban Politik Peristiwa G30S PKI, Dari Orang Buangan dan Jadi Dokter Spesialis Bedah Cemerlang di Perancis
Dari ayah dan ibunya ia mendengar cerita menyayat hati tentang pembunuhan massal orang-orang kampung oleh kerabat sendiri, oleh polisi dan tentara, karena tuduhan sebagai PKI. Mayat-mayat mereka bertebaran dan membusuk. Sungai Loji di pantai utara bahkan seperti tersumbat oleh banyaknya mayat.
Begitulah. Sebulan ia berkumpul dengan ayah ibunya. Lalu sepulang mereka kembali, kehidupan yang keras dimulai lagi.
Baru pada 11 Oktober 1994 ia memperoleh kewarganegaraan Perancia — sesuatu yang sesungguhnya tak ia inginkan karena tetap mengingat Indonesia. “Tapi saya ingin pulang ke Tanah Air. Untuk itu saya harus punya status warga negara,” katanya.
Dengan paspor Perancis di tangan, Waloejo bebas pergi ke seluruh negeri di muka bumi, tentu saja kalau punya uang. Dan negeri pertama yang hendak ia datangi adalah Indonesia, tanah kelahirannya, yang 35 tahun telah ia tinggalkan.
Dipenuhi rasa gamang, pada 13 September 1995, pukul 10.00 pagi, pesawat yang membawanya dari Paris mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. “Ketika kakiku menginjakkan lantai bandara, terasa ada satu getaran ajaib. Tanah tumpah darahku. Tempat aku dilahirkan.”
Selanjutnya adalah perjalanan nostalgia sebagai turis Perancis berwajah Melayu yang pada paspornya ada visa turis dengan izin 60 hari sahaja.