Kisah Waloejo Sedjati Korban Politik Peristiwa G30S PKI, Dari Orang Buangan dan Jadi Dokter Spesialis Bedah Cemerlang di Perancis
Ia akhirnya menjadi dokter spesialis bedah, dan sekaligus meraih gelar doktor setelah menghabiskan 400 ekor tikus putih untuk eksperimen di laboratorium.
Dengan gelar doktor dan dokter ahli bedah, di bulan Desember 1981 Waloejo Sedjati meninggalkan Moskwa. Ia berkereta menuju Budapest, Hongaria lalu ke Yugoslavia. Tujuan utamanya hendak pindah ke Paris, ibukota Perancis — ibukota peradaban Eropa. Ia memanfaatkan kedekatannya sesama orang Indonesia yang terbuang serta jaringan sesama dokter lulusan Moskwa di kota-kota itu untuk sekadar singgah. Ia tak memegang paspor, hanya selembar surat keterangan tanpa warga negara (stateless) dengan huruf Rusia.
Di setiap kota yang disinggahinya itu, ia tetap membuka praktik pengobatan.
Akhirnya, Waloejo tiba di Paris pada bulan Februari 1982 di saat kota itu “sudah muak kebanjiran imigran”. Banyak pencari suaka ditolak. Tapi sebagai dokter ia akhirnya diterima. Ia kemudian menetap di Paris dalam naungan UNHCR.
Pada suatu hari di tahun 1982, ia berhasil mendatangkan ayah dan ibu, serta adiknya ke Eropa. Itulah perjumpaan yang sangat mengharu-biru setelah 25 tahun perpisahan. Dan akhirnya, ia mendengar cerita dari tanah air tentang ayahnya yang dituduh sebagai pemimpin PKI oleh orang sekampung di Legokkalong, Karanganyar itu karena kepergiannya sekolah ke Pyongyang dulu — tapi tak seorang pun yang bisa membuktikannya. Kata ibunya: “Bapakmu mengucapkan kata komunis saja belum pernah kok disuruh mengaku pemimpinnya!”
Keluarga ini selamat meski hubungan dengan orang sekampung, bahkan dengan sanak kerabat, sudah berubah. Di kampung itu banyak yang mati dibantai dituduh sebagai PKI. “Tak ada sahabat, tak ada saudara. Dituduh maling atau garong, atau pelacur bahkan anjing masih mungkin mencari selamat. Tapi kalau dituduh komunis, pasti habis,” kata sang ayah.