Pilu, Tak Mampu Biayai Makan, Gajah Bali Terlihat Kurus Kering Tinggal Tulang
RIAU24.COM - Selusin gajah di Bali Elephant Camp (BEC) dibuat kelaparan karena staf dan penjualan tiket anjlok, memaksa mereka untuk tutup sementara.
Bali Elephant Camp adalah taman bergaya safari, setengah jam berkendara dari utara Ubud.
zxc1
Pada 2005, BEC bergabung dengan program konservasi satwa liar yang dijalankan oleh Departemen Kehutanan yang mempercayakan kebun binatang swasta dan taman safari di Indonesia untuk merawat gajah Sumatera yang terancam punah.
Sebuah studi pada 2007 oleh World Wildlife Fund menemukan bahwa hanya ada 2.400 gajah Sumatera yang tersisa di alam liar, dan jumlahnya sekarang diperkirakan berkurang setengah akibat perburuan gading, konflik manusia-gajah, dan penggundulan hutan.
Bisnis terakreditasi diizinkan untuk membuka layanan wisata gajah yang sangat menguntungkan sebelum pandemi. BEC mengenakan biaya untuk wisata naik gajah.
zxc2
Kelahiran tiga bayi gajah selama 15 tahun terakhir menunjukkan BEC tidak hanya memenuhi tetapi juga melebihi persyaratan kesejahteraan hewannya.
“Anda tidak dapat membayangkan seekor gajah kurus sampai Anda melihatnya,” kata Femke Den Haas, seorang dokter hewan dari Belanda yang telah bekerja untuk melindungi satwa liar di Indonesia selama 20 tahun.
“Mereka adalah hewan besar dan Anda tidak dimaksudkan untuk melihat tulang mereka. Tapi itulah mereka – hanya kulit dan tulang.”
Haas mengunjungi kamp tersebut sebagai mitra Konservasi Sumber Daya Alam Bali (BKSDA), badan pemerintah yang mengawasi taman safari dan kebun binatang yang mengadopsi gajah Sumatera.
“Banyak industri di Bali yang tumbang akibat pandemi COVID-19,” kata Agus Budi Santosa, Direktur BKSDA.
“Tetapi dampak pada perusahaan kecil seperti Bali Elephant Camp sangat parah. (Ketika pariwisata berhenti) mereka tidak mampu lagi menutupi biaya operasional, terutama biaya memberi makan gajah. Pemerintah harus membantu mereka dengan membayar makanan dan listrik.”