Mengenal Kemunculan Karya Sastra Untuk Kali Pertama di Indonesia
RIAU24.COM - Sampai saat ini, penentuan awal mula lahirnya sastra Indonesia dan rujukan pada sebuah karya yang disebut sastra Indonesia masih simpang siur.
Para pengamat sastra dan sarjana memiliki pertimbangan berbeda dikutip dari viva.co.id.
Alhasil, kondisi ini menimbulkan perbedaan pendapat mengenai lahirnya sastra Indonesia. Yang jelas, semuanya bermula di tahun 1920, ketika Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah.
Hal inilah yang mendasari dibentuknya organisasi yang menerbitkan buku-buku bagus untuk meningkatkan kecerdasan pribumi.
Di sisi lain, lembaga ini mengelola perpustakaan yang terletak di sekolah umum. Badan ini juga bertambah dan bertambah dengan banyaknya mahasiswa pascasarjana yang ingin membaca materi tersebut, dan badan ini disebut Balai Pustaka.
Suatu hal yang menambah keyakinan bahwa Balai Pustaka merupakan awal dari lahirnya sastra Indonesia adalah pada masa penjajahan setelah Belanda, tepatnya kependudukan Jepang (1942-1945)
Balai Pustaka masih tetap ada meski menggunakan nama lain yaitu Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biru Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang.
Kehadiran Balai Pustaka telah membuka hati penulis-penulis untuk memperlihatkan hasil karyanya yang sebelumnya menggunakan bahasa daerah kemudian beralih ke bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga berbangsa Indonesia.
Selain itu, hal ini telah membuka semangat, pikiran, dan kesadaran para penulis untuk mempersatukan daerah-daerah demi keutuhan bangsa Indonesia.
Selain menjadi tonggak lahirnya sastra Indonesia, pada masa Balai Pustaka pula karya-karya masterpiece lahir.
Di antara beberapa karya sastra tersebut roman Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar.
Bahkan karangannya itu mengalami cetak ulang ke -10 tahun 1992, roman Kalau Tak Untung karangan Selasih yang mengalami cetak ulang ke -12 tahun 1992, roman Atheis karangan Achdiat K.
Mihardja juga mengalami cetak ulang ke -28 tahun 2006, novel Bukan Pasar Malam karangan Pramoedya Ananta Toer yang dinyatakan terlarang pada tahun 1966 dan diterbitkan kembali oleh Bara Budaya tahun 1999 dan Lentera Dipantara tahun 1994, dan roman Surapati karangan Abdul Moeis mengalami cetak ulang ke-10 tahun 1995.