LGBT dari Pandangan Psikolog Dunia, MUI Serta Beberapa Tokoh Lainnya
href="//www.riau24.com">RIAU24.COM - Lesbiyan,Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) merupakan fenomena yang merebak di era modern sebagai bentuk penyimpangan seks yang sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang salah serta kurangnya peran seorang ayah.
Bukan hanya itu, pendidikan agama Islam yang kurang memadai dan pornografi yang sangat mudah terakses dari semua kalangan.
Seorang lgbt terbentuk karena adanya pengaruh lingkungan, bawaan lahir atau memang karena adanya trauma akibat pengalaman tertentu.
Psikolog klinis dan hipnotherapy, Liza Marielly Djaprie Menerangkan dalam ilmu psikologis dan kamus besar kejiwaan lgbt tidaklah termasuk di dalam gangguan jiwa yang dialami oleh seseorang.
Sejarah href="https://ftp.riau24.com/tag/lgbt" class="text-tags text-success text-decoration-none">LGBT
Seperti dikutip dari Humanika 2017, hal ini terjadi sejak tahun 1970 yang mana lgbt di hapuskan dari gangguan kejiwaan akan tetapi kondisi ini dianggap unik pada diri orang tersebut.
Dari sudut pandang psikologis pun lgbt merupakan sesuatu yang harus bukan disembuhkan akan tetapi mereduksi kecemasan pada tekanan agar tidak berkelanjutan pada perilaku yang membahayakan.
Seorang ahli psikologi dunia, Sigmund Freud (1856-1939) yang terkenal dengan teori ‘Psikoanalisa’ menyebutkan bahwa periode perkembangan seorang anak mulai bayi hingga dewasa sangat dipengaruhi oleh kematangannya secara seksual.
Hal iti dipengaruhi pengetahuan seperti pengenalan organ kelaminnya, figur dan peranan orang tua sebagai pengasuh si anak, yang nantinya akan mempengaruhi orientasi seksual anak di masa depannya.
Informasi yang diperoleh dari Kemenkes secara keseluruhan terdapat peningkatan jumlah
Waria secara bermakna antara tahun 2002 dan 2009, tetapi tidak terdapat peningkatan
bermakna dari tahun 2009 dan 2012.
Populasinya tidak ada yang pasti namun mengacu data populasi rawan terdampak HIV jumlah waria diperkirakan mencapai 597 ribu orang, sedangkan lelaki yang seks dengan lelaki termasuk biseksual mencapai lebih dari 1 juta orang, yang dilansir dari Kemenkes RI, 2014.
Sumber lain menurut Lehman & Thornwel, menyebutkan jika menggunakan prevalensi dari populasinya bisa
mencapai 3 juta. Sedangkan populasi lesbian belum banyak diketahui.
Pandangan masyarakat mengenai isu LGBT masih beragam tergantung latar belakang budaya, agama, kelompok sosial, media, keluarga, pergaulan sebaya, gender dan interaksi dengan individu LGBT.
Tingkat penolakan, dan penerimaan terhadap LGBT sangat tergantung pada faktor faktor di atas. LGBT di Indonesia masih merupakan hal yang tabu khususnya bagi kelompok yang
Sebagian besar menghujat perilaku dan orientasi seksual kelompok LGBT ini.
href="https://ftp.riau24.com/tag/mui" class="text-tags text-success text-decoration-none">MUI bahkan sudah mengeluarkan fatwa yang menolak praktek hubungan badan dan perkawinan sesama jenis.
Ada juga sebagian masyarakat bersikap netral, menerima keadaan LGBT namun tidak
mendukung href="https://ftp.riau24.com/tag/lgbt" class="text-tags text-success text-decoration-none">LGBT melakukan kegiatan secara terbuka.
Kelompok ini beranggapan semua orang mempunyai hak yang sama untuk hidup, memenuhi hak hak sebagai manusia namun tetap mempertimbangkan konteks lokal.
Sedangkan kelompok yang pendukung adalah kelompok LGBT, para aktivist dan penggerak kesetaraan yang menginginkan LGBT juga punya hak yang sama tanpa batasan dalam konteks apapun, termasuk dalam perkawinan sejenis.
Lalu bagaimana dengan proses penyembuhan perilaku LGBT secara psikologi ?
href="https://ftp.riau24.com/tag/lgbt" class="text-tags text-success text-decoration-none">LGBT sendiri Proses penyembuhan nya secara individu dirasa kurang efektif karena individu cenderung melakukan pembenaran terhadap apa yang ia yakini.
“Metode terapi penyembuhan LGBT dengan pendekatan berbasis kelompok akan lebih efektif karena masalah yang terjadi di individu terkadang juga dipengaruhi lingkungannya. Saat individu merasa ada orang lain yang juga memiliki masalah yang sama maka motivasi untuk dapat berubah cenderung lebih besar,” ungkap Iswan.
(Windi)(***)