Cerita NU Pernah Jadi Parpol
Tak hanya itu, adanya perubahan kepemimpinan, kebijakan, peraturan dan sikap partai terhadap ulama tradisionalis menjadi pemicu selanjutnya. Sayangnya, semua perubahan itu merupakan hasil Kongres Masyumi ke-4 pada Desember 1949 di Yogyakarta.
Seiring berjalannya waktu, kongres mengantarkan Moh Natsir sebagai Ketua DPP sekaligus menjadikan orang-orangnya mendominasi partai.
Natsir melalui peraturan barunya, menyempitkan peran Majelis Syuro (Dewan Penasihat) yang diketuai KH Wahab Chasbullah. Dewan Syuro dilarang mencampuri urusan politik dan hanya dibolehkan memberi fatwa terkait hukum Islam.
Sementara di Masyumi, satu-satunya lembaga kepemimpinan yang didominasi NU hanya Majelis Syuro. NU memandang anggaran dasar baru itu meletakkan politisi pada posisi lebih tinggi dari ulama.
Perubahan peran ulama dan Majelis Syuro ini yang penyebab utama pertikaian antara NU dengan kelompok Natsir. Dalam Kongres Masyumi ke-4 di Yogyakarta itu, serangan kaum modernis terhadap ulama tradisionalis juga diperlihatkan terang-terangan.
Pasca Kongres Masyumi 1949 sejumlah aktivis NU mulai berkampanye untuk menarik diri dari Masyumi. PBNU juga menyiapkan diri dengan membentuk Majelis Pertimbangan Politik (MPP) pada awal September 1951.