Sengketa Lahan Di Dayun Siak Tak kunjung Usai, Lahan Masyarakat Banyak Diklaim PT DSI
RIAU24.COM - SIAK- Permasalahan sengketa lahan di Kecamatan Dayun, Koto Gasib dan Merempan, Kabupaten Siak antara PT Duta Swakarya Indah dengan masyarakat tak kunjung usai, Banyak lahan milik masyarakat yang diklaim oleh PT DSI masuk dalam perizinan PT DSI, sementara masyarakat memiliki bukti kepemilikan yang sah.
Ahli Independen dan Pakar Hukum Pidana Forensi, Dr Robintan Sulaiman, SH, MH, MA, MM, CLA menerangkan, sebelum penerbitan IUP, perusahaan seharusnya mengantongi izin yang tidak bertentangan dengan RTRW, peraturan yang berlaku, dan jika sudah di kaji aspek hukumnya, barulah Pemerintahan di Tingkat Menteri, Gubernur dan Bupati dapat menerbitkan izin lokasi, HGU, dan IUP.
"HGU belum ada, IUP terbit, itu mal administrasi, sudah pasti ada pidananya itu. Apalagi ada hak di dalamnya seperti SKT, SKGR dan SHM. Mestinya sebelum memberikan izin itu dicek dulu. Ada satu hamparan wilayah sudah dikasih hak oleh pemerintah, itu namanya dienclave (dikeluarkan), jelas Dr Robintan Sulaiman ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya lantai 3 RSP Auditor, Kompleks Mutiara Taman Palem Jakarta Barat, Senin (20/3/2023).
Kata dia, prosedur penerbitan IUP itu sangat panjang dengan memperhatikan sejumlah aspek. Apabila IUP diterbitkan sebelum adanya pengurusan Hak Guna Usaha (HGU), maka status IUP tersebut bisa dikatakan palsu dan seluruh operasional yang berdasarkan IUP tersebut dinyatakan ilegal.
"(Otomatis IUP, red) prosesnya palsu, batal! Dari awal operasional hingga sekarang ilegal. Proses IUP itu panjang, awalnya izin prinsip itu dikasih harus ada HGU dulu. Kalau izin prinsipnya belum ada, bagaimana ceritanya? Ibarat baju sudah disiapkan, tapi orangnya belum ada. Seharusnya, HGU dulu lalu pengecekan RTRW, Izin Prinsip dan terakhir ada IUP dan lain-lain," jelas The One and Only, Dr Robintan.
Dipaparkannya, soal adanya dugaan mal administrasi itu dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yakni kategori minor dan mayor.
"Kategori minor seperti salah ketik, tapi kalau sudah ada pemalsuan, RTRW melarang dan masih dipaksakan itu pidana namanya (mal administrasi kategori, red) mayor," jelas dia.
Sebelumnya pada tahun 2003 dan 2004, Bupati Siak Arwin AS pernah menolak memberikan izin dengan alasan bertentangan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Siak. Namun, pada 2006 lalu, dia akhirnya mengeluarkan izin lokasi tersebut.
"RTRW tidak bisa dibatalkan, itu urusannya pemerintah pusat. Ada aturan hukumnya, ketika aturan diatas dipermainkan di bawah maka aturan dibawah batal. RTRW itu kebijakan nasional," tegasnya.
Dijelaskan dia, ketika pemerintah mengeluarkan izin konsesi, itu sudah melalui proses yang jelas dan kajian yang panjang.
"Karena negara tidak mau gagal dalam mengeluarkan kebijakan. Karena kalau gagal negara rugi, karena negara perlu income seperti retribusi, pajak dan lain-lain sebagainya. Konsesi dikeluarkan, negara membutuhkan kontribusi berupa penerimaan negara bukan pajak," jelasnya.
Disamping itu, pemerintah juga akan melihat aspek kelayakan dari perusahaan tersebut, apakah sudah sesuai dengan RTRW suatu daerah.
"Ketika itu sudah memenuhi semua persyaratan, barulah pemerintah memberikan izin," ucapnya.
Terkait izin yang diberikan kepada suatu perusahaan, kata Dr Robintan tidak bisa diberikan atau dialihkan kepada perusahaan lain.
"Kalau ini diberikan atau diserahkan ke perusahaan lain, maka izinnya batal," sambungnya.
Sebuah perusahaan pastilah memiliki komponen yang terdiri dari pengurus dan pemegang saham. Yang boleh berubah-rubah adalah pemegang saham, sementara pengurusnya jika berubah, harus melalui fit and proper test oleh pemerintah dalam hal ini kementerian dan dinas terkait.
"Kalau diambil alih, tau-tau ganti baju, ini batal demi hukum, ini aturannya sebenarnya harus minta izin baru dan diuji juga. A yang diberikan izin, maka B tidak bisa menjalankan izin itu. Yang boleh dialihkan itu saham, tidak mempengaruhi manajemen. Manajemen itu tidak boleh, harus di fit and proper test," kata dia.
Kemudian, laporan dari LSM Perisai ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau soal adanya dugaan kerugian negara yang dilakukan oleh PT DSI karena beroperasi tanpa HGU, tidak dapat ditindak lanjuti karena mengacu kepada UUCK nomor 11 tahun 2020 pasal 110 A dan pasal 110 B.
Lalu, Kejati Riau berpedoman kepada pasal diatas, dalam suratnya nomor B-135/L4.5/Fd:1/03/2023 menjelaskan bahwa laporan dimaksud belum dapat ditindaklanjuti.
"Dalam hal ini UU tidak bisa berlaku surut (retroaktif). Yang kita boleh lakukan adalah mendudukkan hukum seterang-terangnya. Ini dasarnya harus dipilah-pilah lagi, apakah ini putusan politik atau putusan hukum. Kalau putusan politik ya bisa saja, kalau itu baik dan menguntungkan masyarakat ya bisa saja, walaupun ada pelanggaran hukum. Tapi, kalau ditanya hukum tidak bisa seperti itu, kita kan konsekuen negara hukum (rechtstaat) bukan machtstaat," terang Dr Robintan.
Untuk diketahui, Pasal 110A menjelaskan, kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki Perizinan Berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun. Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun tidak menyelesaikan, baru dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha.
Kemudian, Pasal 110B pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dan belum mempunyai perizinan di bidang kehutanan, tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, perintah pembayaran Denda Administratif, dan/atau paksaan pemerintah untuk selanjutnya diberikan persetujuan sebagai alas hak untuk melanjutkan kegiatan usahanya di dalam Kawasan Hutan Produksi.
Supaya kasus ini menjadi jelas dan terang benderang, Dr Robintan menyarankan perlu adanya kajian hukum yang mendalam untuk dapat mengurai permasalahan secara detil dan agar tidak bias.
"Supaya objektif dan terang benderang, agar membuat sebuah kajian terhadap masalah ini," pungkasnya.
Terpisah, Ketua DPP LSM Perisai, Sunardi SH selaku yang dikuasakan oleh pemilik lahan bersertipikat menjelaskan, bahwa kala itu Bupati Siak Arwin AS secara tegas menolak pemberian izin lokasi tersebut karena bertentangan dengan RTRW Kabupaten Siak.
"Sudah jelas Arwin AS sudah merekomkan tidak bisa menerbitkan izin lokasinya dengan alasan tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Siak. Menjelang IUP diterbitkan, sudah dilakukan inventarisasi dulu, tapi hasil inventarisasi tidak digubris langsung diberikan IUP," tambah Sunardi.
Makanya, kata Sunardi, setiap kali perusahaan perkebunan mengajukan pengurusan izin, yang diperintahkan itu harus mengurus HGU sebelum mengurus yang lain-lain.
"Selesaikan HGU dulu, kan itu perintah Menteri Kehutanan," tegas Nardi.
Kata Sunardi, di dalam undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan pada pasal 50 menerangkan, menteri, gubernur dan bupati/walikota yang berwenang menerbitkan izin usaha perkebunan dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai peruntukan dan/atau menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Artinya, izin tidak bisa diterbitkan karena dinilai bertentangan dengan RTRW suatu daerah," ucapnya.
Kemudian, dalam UUCK nomor 11 tahun 2020, di pasal 110 huruf A dan B menerangkan bahwa perusahaan masih diberikan waktu untuk evaluasi hingga 2 November 2023.
"Apabila pada tenggat tersebut tidak juga menyelesaikan segala sesuatunya tadi, maka akan diberikan sanksi administratif yang lebih besar," tutur Sunardi.
Sementara itu, pengacara PT DSI ketika dikonfirmasi lagi-lagi tidak mau memberikan jawaban. Pesan WhatsApp sudah terkirim dengan status centang dua abu-abu.(Lin)