Lembaga Surveri Sebut Suara PSI Tak Jauh dari Hasil Quick Count: Gagal ke Senayan
RIAU24.COM -Beberapa jumlah survei merespons perolehan suara partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dinilai anomali usai terjadi kenaikan suara yang signifikan beberapa hari lalu.
Dari hasil data terbaru real caount KPU per pukul 16.00 WIB, Selasa (5/3), PSI merengkuh suara sebesar 3,13 persen atau 2.404.933 suara.
Perolehan suara itu didapat dari 65,90 persen atau 542.508 TPS dari 823.236 TPS.
Jumlah perolehan suara itu sebelumnya sempat disorot karena naik secara singkat setelah hanya di angka sekitar 2,8 persen pada Jumat (1/3).
Padahal saat itu perolehan suara yang masuk di KPU 65,34 persen atau dianggap tidak jauh berbeda signifikan dengan saat ini.
Direktur Eksekutif Populi Center Afrimadona mengatakan dengan margin of error (MoE) 1 persen, hasil quick count atau hitung cepat dengan perolehan suara yang masuk sebesar 99,30 persen, partai yang dinakhodai putra bungsu Presiden Joko Widodo itu hanya memperoleh 2,62 persen suara.
"Hasil quick count hampir semua sama. Karena itu, kalau terjadi perbedaan yang signifikan dengan hasil final nanti, ada kemungkinan memang electoral fraud itu terjadi," kata Afri saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (5/3).
Afri menyebut hasil quick count biasanya bisa dipatahkan apabila ada perbedaan antara 2-3 lembaga survei yang kredibel.
Misalnya lembaga survei A mengatakan PSI lolos, sementara lembaga survei B tidak. Namun dalam kasus PSI, semua lembaga survei menurutnya mencatatkan hasil quick count PSI di bawah 4 persen.
Afri mengatakan lembaga survei bekerja dengan data mentah dari sampel suara TPS yang bisa dipertanggungjawabkan.
Oleh sebab itu, dengan metode masing-masing yang digunakan, hasil quick count sejumlah lembaga survei tidak akan jauh berbeda.
Ia pun berpendapat apabila nantinya hasil suara PSI berbeda dengan quick count, maka insiden itu menjadi kali pertama terjadi selama gelaran Pemilu dan Pilpres.
Menurut dia, meski tidak resmi, quick count atau hitung cepat selama ini menjadi media kontrol hasil penghitungan suara KPU.
"Secara historia, selama ini belum pernah hasil quick count berbeda terlalu jauh dengan real count, rata-rata sama," kata dia.
Afri menjelaskan dengan MoE 1 persen pun, maka hasil quick count Populi akan tetap memposisikan PSI berada di bawah 4 persen atau hanya mendapatkan 3,62 persen.
Oleh sebab itu, Afri menilai PSI kemungkinan besar akan gagal melenggang ke Senayan lantaran tidak mampu memenuhi ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
"Jadi kemungkinan ya PSI akan tetap sama, seperti hasil quick count gagal lolos ke parlemen," ujar Afri.
Pun apabila nanti pada akhirnya PSI mendapatkan suara di atas 4 persen, maka hal tersebut juga berpotensi dalam dugaan tindak kecurangan. Publik menurutnya harus mengawal perolehan suara yang anomali, bahkan tidak hanya PSI sekalipun.
Stabilisasi data masuk
Terpisah, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago juga mengamini terdapat anomali dalam suara PSI. Hasil quick count Voxpol misalkan mencatatkan PSI memperoleh 2,93 persen.
Dengan MoE kurang lebih 1 persen pun, partai yang dipimpin Kaesang Pangarep itu masih belum bisa mencapai 4 persen.
Ia juga menyebut dengan perolehan data masuk 50-70 persen saja, kemungkinan tidak akan ada anomali atau lonjakan suara parpol maupun peserta Pilpres.
"Dengan 50 persen sudah dilihat stabil sebenarnya, tidak ada grafik fluktuasi atau jumping atau meroket dan melonjak, enggak ada," kata Pangi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (5/3).
Pangi pun membandingkan hasil real count Pileg dan Pilpres. Sepanjang ini, perolehan suara Pilpres tak menunjukkan perubahan signifikan, padahal perolehan suara masuk sudah mencapai 78,10 persen.
"Mengapa ketika di real count yang Pilpres itu datanya stabil? kenapa di Pileg data 60 persen tapi belum stabil, masih lompat-lompat. Nah, itu yang perlu diaudit," imbuhnya.
Di sisi lain, Pangi juga menilai proses rekapitulasi berjenjang dalam sistem penghitungan suara hasil Pemilu di Indonesia masih memungkinkan terjadinya manipulasi. Praktik tersebut bisa terjadi dalam berbagai bentuk.
Beberapa di antaranya jual beli suara oleh partai atau caleg yang dipastikan gagal lolos ambang batas parlemen, atau manipulasi juga bisa dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan dalam pemerintahan.
Di tengah KPU dan Bawaslu yang menurutnya kini bekerja setengah hati, Pangi meminta agar masyarakat terus aktif mengawal hasil Sirekap.
"Jadi memang yang agak menakutkan itu, dia [parpol] yakin dia tidak akan diaudit, dia tidak akan diminta pertanggungjawaban dan tidak ada yang membuktikan kecurangannya. Itu membuat level keberanian untuk curang meningkat," ujar Pangi.
(***)