PP Kesehatan Diterbitkan Jokowi, Korban Pemerkosaan Dibolehkan Aborsi
RIAU24.COM -Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait kesehatan.
PP Nomor 28 Tahun 2024 ini merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 yang tahun lalu terbit.
Selasa (30/7/2024) Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan PP 28/2024 ini merupakan aturan pelaksana dan sekaligus penguat pemerintah untuk membangun sistem kesehatan.
Dia berharap dengan aturan ini maka sistem kesehatan di Indonesia akan semakin tangguh.
"Ini menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai pelosok negeri,” ucap Budi.
PP ini terdiri dari 1.072 pasal. Ada beberapa aspek yang diatur.
Yakni terkait penyelenggaraan upaya kesehatan, pelayanan kesehatan, pengelolaan tenaga medis, hingga ketahanan kefarmasian.
Dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, ada beberapa sub yang menarik. Contohnya dalam Pasal 4 Ayat 1 disebutkan setiap bayi wajib memperoleh ASI. Ibunya pun berhak diberikan fasilitas untuk memberikan ASI.
Lalu pada aturan yang sama juga memperbolehkan untuk melakukan aborsi, namun dengan syarat yang ketat.
Disebutkan bahwa harus adanya keadaan darurat yang mengancam kesehatan dan jiwa ibu atau janin beresiko lahir cacat yang tidak bisa diperbaiki sehingga tidak memungkinkan untuk hidup.
Budi juga merincikan bahwa prses perancangan PP Kesehatan ini telah dimulai dengan partisipasi publik dan PAK pada Agustus-Oktober 2023.
Proses dilanjutkan dengan harmonisasi yang berlangsung pada November 2023 hingga April 2024.
Kemudian, proses penetapan pada Mei sampai Juli tahun ini.
"Selanjutnya tugas kita memastikan pelaksanaan program didukung dengan aturan teknis berupa peraturan presiden dan peraturan menteri kesehatan, maupun peraturan setingkat menteri lainnya,” lanjut Budi Sebelumnya, desakan terkait penerbitan PP ini terus terjadi.
Founder Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih menyebut keterlambatan pengesahan PP kesehatan dapat menghambat aturan lainnya.
Dia juga menyoroti kurangnya keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan.
"Proses pembahasan berlangsung tertutup dan lamban. Risiko ada campur tangan industri yang memiliki konflik kepentingan,” tuturnya.
(***)