RIAU24.COM - 11 menteri dan lembaga, saat ini telah menandatangani penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB), terkait radikalisme aparatur sipil negara (ASN). Namun sejumlah kalangan, termasuk DPR, mempertanyakan penerbitan SKB tersebut. Pasalnya. SKB tersebut dinilai berpotensi melanggar HAM dan mengekang kebebasan berpendapat para ASN.
Seperti dilontarkan Wakil Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, pihaknya meminta pemerintah menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisme sebelum menerbitkan SKB menteri tersebut.
"Harus jelas dulu apa yang dimaksud dengan radikalisme? Apa parameter dan indikatornya seorang ASN itu bisa dinilai radikalis?," lontar politikus Partai Golkar tersebut, Senin (25/11/2019) kemarin.
Baca Juga: Dijuluki Crazy Rich Bantul, Ini Sumber Kekayaan Soimah
Dilansir republika, untuk diketahui, SKB tersebut diteken 11 menteri dan lembaga, dalam kegiatan di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan, Selasa (12/11) lalu.
Mereka yang ikut menandatangani aturan itu antara lain Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menkumham Yasonna H Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Mendikbud Nadiem Makarim, Menkominfo Johnny G Plate, Kepala BIN Budi Gunawaan, Kepala BNPT Suhardi Alius, Kepala BKN Bima Haria Wibisana, Kepala BPIP Hariyono, dan Komisi ASN.
Baca Juga: Jual Eceran Dilarang, Pemerintah Naikkan Harga Rokok Mulai Bulan Depan
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyebut, ada dua kebijakan pemerintah terkait radikalisme yang dipersoalkan. Yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 dan SKB PP Nomor 77 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap penyidik, penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya.
Doli mempertanyakan urgensi penerbitan PP dan SKB itu, terutama dialog dengan kelompok masyarakat. Karena itu, Komisi II akan mengundang kementerian untuk membahas PP dan SKB tersebut.
"Intinya kami ingin setiap peraturan itu lahir peraturan yang menyejukkan yang bisa menjaga kondusivitas, tidak kemudian mengundang kontroversi, apalagi di masyarakat," tandasnya. ***