Dilapor ke KPK, ICW dan KMS Beberkan Deretan 'Dosa' Menteri Yasonna yang Berujung Tuntutan Pemecatan
RIAU24.COM - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) secara resmi melaporkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, Kamis 23 Januari 2020. Dalam kesempatan itu, KMS membeberkan sejumlah kesalahan yang dinilai telah dilakukan Yasonna. Pada akhir laporannya, KMS meminta Presiden Jokowi memecat Yasonna dari jabatannya sebagai menteri Kabinet Indonesia Maju.
Yang pertama disorot adalah sikap Yasonna karena diduga menghalang-halangi proses hukum atas kasus suap pergantian antar waktu (PAW) calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan, Harun Masiku.
Seperti dituturkan Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Yasonna diduga melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi terkait keberadaan Harun, tersangka suap terhadap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
"Hari ini kami bersama dengan koalisi masyarakat sipil antikorupsi melaporkan saudara Yasonna Laoly selaku Menkum HAM, atas dugaan halangi proses hukum atau obstruction of justice yang diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor, dalam konteks kasus suap PAW anggota DPR RI tersangka Harun Masiku," lontarnya, dilansir viva.
Ditambahkannya, pihaknya membawa bukti-bukti dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Yasonna, salah satunya berupa rekaman CCTV terkait kedatangan Harun ke Indonesia pada Selasa, 7 Januari 2020.
"Kami bawa CCTV yang sudah beredar di masyarakat, kedatangan Harun di Soetta 7 Januari 2020 itu kan sebenarnya perdebatannya. Tidak masuk akal alasan Kumham (Kementerian Hukum dan HAM)," ujarnya.
Menurut dia, sebenarnya sederhana saja mereka tinggal mengecek rekaman CCTV di Bandara Soekarno-Hatta apakah temuan petunjuk salah satu majalah nasional itu benar atau tidak.
"Tapi itu enggak ditindaklanjuti dengan baik. Rentang dua minggu kita pandang enggak cukup membenarkan alasan dari Dirjen Imigrasi kemarin," katanya.
Selain itu, pihaknya melihat ada kejanggalan keterangan yang disampaikan Yasonna terkait keberadaan Harun sebelumnya. Hal itu berkaitan dengan pernyataan Yasonna yang mengatakan Harun telah keluar dari Indonesia sejak 6 Januari dan belum kembali. Tapi ternyata, ada data bahwa Harun sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020.
"Tapi, tidak ditindaklanjuti oleh Kemenkum HAM. Baru kemarin mereka katakan dengan berbagai alasan menyebutkan ada sistem yang keliru," kata Kurnia.
Selain itu, Kurnia menilai ada kejanggalan ketika KPK melakukan proses penyidikan. Hal itu terkait dengan pernyataan Yasonna dan jajaran menyampaikan kalau Harun terbang ke Singapura.
"Karena ini sudah masuk penyidikan per tanggal 9 Januari kemarin, harusnya tidak jadi hambatan bagi KPK untuk menindak Yasonna dengan Pasal 21 tersebut," kata Kurnia.
Tak hanya itu, pihaknya juga menyorot kehadiran Yasonna dalam konferensi pers PDI Perjuangan beberapa waktu lalu. Padahal, Yasonna saat ini menjadi Menteri Hukum dan HAM dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.
"Apa urgensi dia (Yasonna) datang (ke konferensi pers PDIP)," kata Kurnia.
Tentu, Kurnia tidak mau tahu kehadiran Yasonna itu entah meresmikan atau terlibat langsung di Tim Advokasi PDI Perjuangan. Sebab, ini konteks kasusnya terkait dengan seseorang yang bepergian ke luar negeri.
"Itu adalah otoritas Kemenkumham. Kental sekali nuansa konflik kepentingan dalam perkara ini," ujarnya.
Pada ujung tuntutannya, ICW dan KMS meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menegur Yasonna sebagai Menteri Hukum dan HAM.
"Karena ini sudah timbulkan perdebatan di masyarakat dan dia berkata bohong ke publik, enggak tau Harun tapi faktanya Harun sudah di Indonesia. Makanya, ini harus jadi pegangan utama Presiden Joko Widodo untuk menegur dan memecat yang bersangkutan," tutupnya. ***