Dihantam Covid-19, Israel Alami Krisis Ekonomi Terparah dalam Sejarah
RIAU24.COM - Israel saat ini sedang menghadapi salah satu krisis ekonomi terbesar dalam sejarahnya. Sebanyak 40 persen penduduknya harus berjuang keras untuk membayar kebutuhan dasar mereka..
Fakta ini merupakan hasil studi terbaru International Fellowship of Christian and Jewish, sebuah organisasi yang mengaku "membangun dukungan luas bagi Israel" dan sebuah lembaga penelitian, Geocartography.
"Hampir satu dari sepuluh orang Israel (9,6 persen) berjuang agar bisa memiliki makanan yang disajikan di atas meja, dan sepersepuluh warga Israel yang di survei telah diusir dari rumah mereka, atau listrik dan / atau air mereka diputuskan," tulis Jerusalem Post dalam laporannya tentang penelitian Fellowship yang dikutip Suarapalestina.com.
Pemilik bangunan dan mereka yang tinggal bangunan yang disewakan juga mengalami kesulitan untuk membayar hipotek dan sewa mereka. Tidak sedikit pula yang mengalami kesulitan membayar tagihan seperti listrik, air, gas dan pajak kota.
Menurut Yael Eckstein, presiden dan CEO dari Fellowship, hasil survei ini menguatkan apa yang sudah diduga oleh sebagian besar ahli. "Meskipun darurat medis untuk sebagian besar orang Israel mereda, dampak ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh krisis COVID-19 telah menghancurkan kehidupan warga," ungkapnya.
"Sementara 40 persen mengatakan, mereka menghadapi kesulitan dalam menemukan cara untuk membayar pengeluaran dasar seperti makanan, tagihan dan sewa atau melakukan pembayaran hipotek, banyak lagi yang mengakui bahwa bantuan sulit diperoleh."
Sekitar 42,6 persen dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa mereka tidak memiliki anggota keluarga atau teman yang bisa membantu mereka keluar dari krisis ini.
Angka-angka jumlah orang Israel yang telah kehilangan pendapatan melukiskan gambaran suram ekonomi dan dampaknya terhadap masyarakat.
Jika peserta dalam survei dianggap sebagai representasi yang benar, maka 21 persen populasi negara tersebut telah kehilangan pendapatan rumah tangga karena krisis, memaksa lebih dari sepersepuluh populasi untuk kembali hidup bersama orang tua mereka.
Menjelaskan dampaknya, Tami Barsheshet, ketua organisasi manajer layanan sosial di pemerintah setempat mengatakan, "Memiliki satu atau dua anggota keluarga yang dipecat dari pekerjaan mereka atau cuti yang tidak dibayar menciptakan krisis ekonomi yang mempengaruhi seluruh keluarga."
Hanya seperempat dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa pendapatan mereka tidak terpengaruh dengan cara apa pun, sebuah indikasi bahwa sebagian besar warga Israel telah terkena dampak dalam bentuk tertentu.
Baresheshet mengatakan bahwa ada peningkatan 50 persen dalam permintaan baru ke departemen layanan sosial setempat dan bahwa situasinya diperkirakan akan semakin buruk.
Sekitar 13 persen mengaku menerima bantuan atau menyatakan keinginan untuk mencari dukungan dalam waktu dekat dari departemen nirlaba atau layanan sosial.
Fellowship telah menyiapkan program baru dalam bantuan pembelian makanan, pakaian, perlengkapan perawatan bayi dan obat-obatan. Program bantuan ini dikembangkan sebagai hasil dari sejumlah besar permintaan yang dibuat oleh departemen pelayanan sosial setempat di seluruh negeri kepada Fellowship.888