Terus Diserang Karena tak Turunkan Harga BBM, Bos Pertamina Akhirnya Curhat Begini
RIAU24.COM - BUMN PT Pertamina (Persero) sempat diungkit-ungkit karena sikapnya yang tak kunjung menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), meski harganya BBM di pasaran dunia menurun cukup signifikan. Karena sikapnya itu pula, perusahaan plat merah itu sering didesak untuk segera menurunkan harga BBM. Rupanya, hal itu diakui Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menjadi tidak nyaman.
Hal itu diungkapkannya saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Jakarta, Senin (29/6/2020) kemarin.
"Pak tidak nyaman Pak diserang-serang oleh semua orang kenapa BBM tidak turun, terus terang Bu, tadi kan ada mempertanyakan masa memproduksi BBM sendiri lebih mahal dibanding beli, faktanya demikian Bu," lontarnya di hadapan anggota Komisi VII.
Dilansir detik, Selasa 30 Juni 2020, Nicke kemudian menuturkan, harga BBM impor beberapa waktu lalu sempat lebih murah dibanding impor minyak mentah. Padahal, impor minyak mentah juga mesti ada tambahan ongkos untuk produksi.
"BBM impor itu harganya bisa lebih murah dibanding impor crude padahal kita harus ada production cost. Faktanya begitu. Kemarin-kemarin, sekarang sudah mulai normal," ujarnya.
Menurutnya, bila hanya ingin sekedar mencari untung, Pertamina bisa melakukannya dengan hanya berdagang atau trading. Namun hal itu tak dilakukan, karena Pertamina ialah BUMN.
"Kalau sebelumnya ada spread, ini boro-boro, spread negatif. Jadi sebetulnya bagi Pertamina tutup kilang, tutup sumur itu beli aja jadi trading company lebih menguntungkan. Tapi kan kita BUMN," ungkapnya.
Menurutnya, jika menutup kilang hingga sumur maka akan memberikan dampak besar. Ia mengungkapkan, dampak di antaranya matinya industri turunan hingga dampak ke pekerja.
Masih Disubsidi
Dalam kesempatan itu, anggota Komisi VII dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyetujui asumsi energi makro dalam RAPBN 2021. Asumsi tersebut terdiri dari harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price), lifting migas, volume BBM dan elpiji subisidi, subsidi solar, dan subsidi listrik.
Menurut Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, asumsi makro yang telah dibahas DPR dan pemerintah sejak Jumat lalu telah disetujui untuk ditetapkan. Asumsi yang diterapkan antara lain, untuk harga ICP ditetapkan di rentang US$ 42-45 per barel. Kemudian secara total lifting migas ditargetkan mencapai 1,68-1,72 juta BOEPD per hari, dengan rinci untuk target lifting minyak sebesar 690-710 BOPD per hari dan lifting gas sebesar 990-1,01 juta BOEPD.
Selanjutnya, volume BBM bersubsidi sebanyak 15,79-18,30 juta KL. Rinciannya, untuk subsidi minyak tanah volumenya sebesar 480-500 ribu KL dan subsidi minyak solar sebesar 15,3-15,80 juta KL. Sementara untuk volume subsidi elpiji 3 kg ditetapkan sebesar 7,5-7,8 juta metrik ton.
Sedangkan subsidi listrik ditetapkan sebesar Rp 50,47-54,55 triliun. Terakhir untuk subsidi BBM jenis solar ditetapkan sebanyak Rp500 per liter.
Namun angka asumsi ini belum final. Setelah adanya kesepakatan antara Kementerian ESDM dengan Komisi VII, selanjutnya akan dibahas di Badan Anggaran DPR RI. ***