Kisah Maria Montessori, Guru Cerdas yang Meninggalkan Putranya Sendiri Demi Melanjutkan Karirnya
RIAU24.COM - Ada banyak perdebatan tentang kepribadian Maria Montessori yang masih berputar-putar, bahkan hingga hari ini. Beberapa orang senang dengan sistem pedagogis yang dia ciptakan, sementara yang lain tidak mengerti bagaimana mungkin mempercayai studi tentang wanita yang menyerahkan putranya sendiri kepada orang asing.
Kami menjadi tertarik pada nasib wanita yang tidak biasa ini, jadi kami mempelajari detail hidupnya, yang merupakan pertarungan terus-menerus antara konvensi dan stereotip. Wanita Italia yang menjadi dokter meski diintimidasi oleh orang-orang di sekitarnya
Maria, seorang gadis Italia dan putri seorang pejabat, tumbuh menjadi anak yang berbakat. Dia menyukai ilmu pasti dan bermimpi menjadi seorang dokter atau insinyur. Namun, ayahnya tidak menyangka putrinya akan menjadi dokter. Selain itu, fakta bahwa seorang wanita ingin menjadi dokter tampaknya tidak mungkin dalam masyarakat Italia selama akhir abad kesembilan belas.
Maria bersikukuh dan berhasil melewati ujian yang sulit dan bahkan diterima di sekolah kedokteran. Saat Montessori kuliah menjadi dokter, teman-teman mahasiswanya menganggap kehadirannya tidak pantas karena ia seorang wanita. Rekan satu grup dan gurunya secara terbuka menunjukkan kebencian terhadapnya. Saat melakukan pelajaran praktik otopsi, semua jenazah adalah laki-laki dan telanjang. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa hadir di kelas-kelas ini?
Namun terlepas dari suasana psikologis yang keras, keberhasilannya dalam studinya sangat terlihat dan dia mendapat kesempatan untuk melakukan pekerjaan rumah sakit di bidang yang diminatinya. Dalam 2 tahun terakhir kehidupan universitasnya, Maria mempelajari pediatri dan psikiatri dan bekerja di layanan darurat serta di ruang konsultasi pediatrik. Dia menjadi ahli dalam pengobatan anak-anak dan merupakan salah satu wanita pertama di Italia yang menerima gelar Dokter Pengobatan.
Bekerja dengan anak-anak sebagai dokter anak dan mengunjungi rumah sakit jiwa selama bekerja, Maria memperhatikan bahwa beberapa bentuk cacat mental, yang pada saat itu dianggap tidak ada harapan, sebenarnya dapat diatasi. Wanita yang memiliki tujuan ini memutuskan bahwa mungkin untuk bekerja dengan anak-anak ini dan membantu mereka berkembang.