Kisah Kevin Carter, Nekat Bunuh Diri Setelah Foto Anak Kelaparan yang Dijepretnya Raih Penghargaan
RIAU24.COM - Kevin Carter adalah seorang foto jurnalis yang dibesarkan di Afrika Selatan. Dia menjadi jurnalis foto karena dia merasa perlu mendokumentasikan perlakuan memuakkan yang dilakukan oleh, bukan hanya kulit hitam oleh kulit putih, tetapi juga antara kelompok etnis kulit hitam, seperti antara Xhosas dan Zulus.
Dalam beberapa tahun, ia melihat banyak pembunuhan akibat dari pemukulan, penikaman, dan penembakan dan sebuah praktik yang biadab di mana ban yang telah lumuri bensin, lalu dikalungkan di leher korban kemudian ban tersebut dinyalakan dengan api.
Pada bulan Maret tahun 1993, Carter melakukan perjalanan ke Sudan, sebuah negeri yang sedang terkena bencana kelaparan massal sebagai akibat perang saudara yang berkepanjangan.
Kemudian Carter dan Silva, temannya mendarat di bagian utara Sudan untuk meliput bencana kelaparan masal parah yang sedang terjadi di sana. Mereka berdua turun dari pesawat PBB yang saat itu menurunkan bantuan pangan, tetapi pesawat PBB akan segera berangkat kembali setelah 30 menit kemudian.
Saat tim PBB membagi-bagikan makanan, Carter dan Silva yang saat itu di suguhkan oleh pemandangan yang begitu menyayat hati ini begitu terkesima melihat orang-orang kelaparan yang sedang berebut jatah makanan mereka.
Lalu Carter melihat seorang anak balita perempuan yang tampak terlihat sedang merasakan penderitan oleh kelaparan. Lalu dia memotret anak tersebut walau fotonya tidak dipublikasikan.
Menurut Silva, Carter memotret dari jarak sekitar 10 meter dan di belakang Carter adalah suasana orang ramai sedang berebut makanan. Saat itu ada beberapa burung bangkai yang tampak sedang menguntit anak malang tersebut.
Seusai memotret anak malang tersebut, Carter duduk di bawah pohon dan terlihat seperti tertekan.
”Dia berkata rindu dan ingin memeluk Megan, putrinya,” kata Silva.
Carter memang punya seorang anak perempuan bernama Megan, kelahiran 1977, anak yang lahir di luar nikah dengan Kathy Davidson, seorang guru sekolah.
Kemudian foto Carter muncul di majalah New York Times yang dirilis pada, 26 Maret 1993, dan saat itu juga banyak kritikan pedas yang menganggap Carter tidak manusiawi, dengan membiarkan anak tersebut menderita dan memotretnya bukan memberikan pertolongan, meski pada kenyatannya foto tersebut diambil pada suasana ramai saat pembagian bantuan makanan oleh tim PBB.
Pada 23 Mei 1994, 14 bulan setelah mengabadikan adegan yang berkesan itu, Carter yang biasa memotret di medan perang, berjalan ke podium di Perpustakaan Columbia University's Low Memorial dan menerima Hadiah Pulitzer untuk fotografi feature.
"Aku bersumpah, aku mendapat tepuk tangan meriah dari semua orang. Aku tidak sabar untuk menunjukkan piala kepadamu. Itu adalah hal yang paling berharga, dan penghargaan tertinggi atas pekerjaanku yang bisa aku terima," ungkap Carter kepada orang tuanya di Johannesburg, dilansir dari laman Time.
Carter pun menandatangani kontrak dengan Sygma, agensi gambar bergengsi yang mewakili 200 jurnalis foto terbaik dunia.
Namun, foto yang menakjuban sekaligus miris ini mengantarkan sang fotografer pada situasi depresi dan penyesalan akibat apa yang telah dia sakskan dan juga cibiran pedas dari masyarakat yang menyayangkan kenapa ia tidak menolong anak itu dan malah menjadikannya sebagai objek foto.
Padahal memang tak banyak yang bisa Carter lakukan karena ada aturan yang menyatakan tak boleh ada interaksi berlebihan antara para jurnalis dan wartawan dengan para korban kelaparan untuk mengurangi resiko tertuar penyakit.
Carter bunuh diri 27 Juli 1994 dengan cara menutup diri di dalam mobil pickup-nya, lalu mengalirkan gas knalpot ke dalam mobil.
Namun berkat foto-fotonya yang penuh kenangan, kelaparan di Sudan menjadi terkenal secara internasional. Carter meninggalkan kenangan pahit yang tak terhapuskan dan menyadarkan dunia tentang mengerikannya bencana seperti itu.