Monok, Menu Ayam Kaum Miskin Filipina yang Terbuat Dari Sisa Sampah Makanan
RIAU24.COM - Dalam menghadapi kelangkaan bahan pangan, kaum miskin di permukiman kumuh Tondo Manila telah berhasil mengolah sampah menjadi makanan yang kemudian akan mereka jual.
Salah satu makanan tersebut adalah Monok.
Monok merupakan hidangan khas Filipina yang terdiri dari ayam suwir digoreng dengan cuka, bawang, kecap dan cabai.
Makanan tersebut dinilai menjadi sajian istimewa bagi penduduk Tondo.
Dikutip dari Channel News Asia, Rabu (23/9/20), karena ketidakmampuan untuk membeli daging segar, seorang pedagang kaki lima bernama Loida telah menemukan cara cerdas untuk membuatnya sedemikian rupa sehingga masyarakat yang kurang mampu bisa membeli makanan lezat.
Namun, pada dasarnya olahan tersebut menggunakan bahan-bahan yang seharusnya tidak dipakai lagi. Bisa dibilang sampah makanan.
Loida menggunakan sisa ayam dari hotel, mengupas dagingnya, memasaknya kembali dan menjualnya dengan murah hanya 15 Peso sekitar Rp 4.600 per piring di Tondo.
Tondo merupakan salah satu daerah kumuh paling miskin di Manila, di mana warganya kerap mengais makanan yang dibuang dari tempat sampah.
Loida membeli ayam sisa dari hotel yang biasanya tidak dipakai lagi karena sudah diambil sarinya sebagai kaldu.
"Jadi sisa daging bekas mereka olah bukannya dibuang, malah dijual kepada petugas pengiriman untuk mendapatkan uang tambahan. Ini pekerjaan sampingan para juru masak hotel," imbuh Loida.
"Awalnya ada yang bilang olahan monok (ayam pedas yang dimasak dua kali) yang saya buat itu kotor, tapi dengan begini mereka yang kurang beruntung bisa mencicipinya, dan lebih sedikit makanan terbuang karena bahan makanan itu masih bersih," tambahnya.
Sebelum diberlakukannya lockdown di Filipina, Loida rutin mengangkut gerobak dorong birunya yang diisi dengan kantong plastik berisi ayam, rempah-rempah, botol saus, dan tabung gas untuk memasak melalui gang-gang sempit, sebelum mendirikan toko di persimpangan jalan yang ramai.
Kios tersebut diturunkan dari mendiang ibunya, sehingga ia dapat menggunakannya untuk berjualan. Loida biasa menyiapkan hidangan. merebus potongan ayam dalam cuka, rempah-rempah, dan kecap hitam sebelum menggorengnya untuk mendapatkan rasa asam pedas dengan tekstur yang renyah.
"Saya tahu bagaimana rasanya tidak punya apa-apa untuk dimakan, merasa lapar. Saya bahkan mengetuk pintu tetangga saya untuk meminta uang. Oleh karena itu saya selalu menjaga harga makanannya tetap terjangkau agar dapat dinikmati oleh masyarakat kelas bawah" imbuh Loida yang tinggal di lingkungan tempat beberapa penduduk bertahan hidup hanya dengan US $ 400 (sekitar Rp 6 juta) setahun.
Bagi mereka yang tinggal di daerah kumuh, makan enak dan memiliki makanan lezat adalah mimpi - tetapi serial dokumenter baru Slumfood Millionaire merayakan kepandaian dan bakat para pedagang kaki lima yang tinggal di distrik termiskin di kota-kota terpadat di dunia, seperti Manila, Mumbai dan Bangkok.
Menggunakan bahan-bahan yang murah dan sering diabaikan, orang-orang ini telah menjadi ahli dalam membuat hidangan khas yang tidak diketahui oleh banyak orang kecuali mereka yang tinggal di daerah tersebut - seperti katak panggang (Phnom Penh) dan sup krim ikan buntal (Kota Kinabalu).