Modal Jujur, Bengkel Tukiman Sukses di Perantauan Bersama PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP)
RIAU24.COM - Rumah putih dengan bilah-bilah kayu itu berdiri tidak jauh dari perbatasan Kabupaten Siak, Riau.
Di sekitar bangunan tempat tinggal tersebut, tersisa tanah lapang yang dikelilingi rerimbunan, tempat serpih-serpih sawit bertebaran di sisi kanannya.
Dari sebuah celah, seorang pria terlihat duduk di bawah melepas bilah-bilah kayu yang rupanya adalah bagian-bagian dari pintu ruang bengkel.
Bilah-bilah vertikal bergesek dan lepas satu per satu ditempa telapak tangan. Sampai akhirnya, semuanya copot.
Tampak Man alias Tukiman tetap berada di bawah. Dia membelakangi botol-botol minyak pelumas, mesin pemompa angin, sekumpulan kampas rem, dan aneka perkakas bengkelnya.
Man lalu mengajak kami, tamunya, masuk ke ruang depan di sebelah bengkel.
Di ruangan itu hanya ada karpet, sertifikat yang dipajang, serta seperangkat audio tahun 1990-an warna hitam yang meliputi pemutar cakram kompak, amplifier, dan dua speaker seukuran karung beras di kanan dan kirinya.
"Alhamdulillah ini rumah sudah punya sendiri, ukuran 20 x 50 meter. Ya dari kampung enggak bawa modal apa-apa. Modalnya cuma niat," ujar pria yang mengaku berusia 61 tahun itu.
Kalau dihitung-hitung, cukup besar juga rumah Man.
Kira-kira sepuluh kali ukuran rumah mungil di kompleks kluster. Dengan ukuran yang sama, entah berapa harganya kalau di Jakarta dan kota besar lainnya.
Hasil jerih payah itu diperoleh Man setelah bertahun-tahun pindah dari Lampung tahun 1989 ke tepi Kabupaten Siak ini.
Dengan keterbatasan fisik, pria yang aslinya berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur, itu ikut pendidikan perbengkelan sepeda motor yang disediakan pemerintah wilayah selatan di Sumatera tersebut.
"Bongkar motor ya bisa semua. Total. Misalnya ya, semua motor lalu dibongkar masukkan ke karung goni, kasih ke saya, bisa saya rakit lagi jadi satu. Saya siap," ujar Man seraya mengaku bahwa urusan servis motor di bengkelnya juga dibantu anaknya.
Ketika itu, musik tidak mengalun dari perangkat audio di rumahnya. Namun, Man mengaku senang mendengarkan lagu dangdut.
"Meggy Z, Mansyur S. Kalau favorit saya ya lagunya Ida Laila yang judulnya 'Siksa Kubur'. Pokoknya yang sedih-sedih, sesuai dengan nasib saya. He-he-he," kata Man, yang ditinggal meninggal oleh istrinya karena sakit sekitar lima tahun lalu.
Namun, Man cukup sibuk.
Setidaknya akan ada 4-5 sepeda motor yang datang ke bengkelnya setiap hari.
Jumlah ini dipenuhi dengan kondisi bahwa hanya ada 2-3 bengkel yang beroperasi di seputar wilayah tempat tinggalnya.
Dari bengkelnya, uang Rp 1 juta berputar dalam satu hari.
Jumlah itu sudah termasuk modal dengan pertimbangan harga suku cadang yang sudah di kisaran ratusan ribu rupiah, misalnya ban yang satuannya berbanderol Rp 150.000.
Namun, kata Man, ada saja orang yang tidak membayar hasil kerjanya. Ia menyebut bahwa pelanggan ini antara lain buruh panen yang memang kesulitan uang.
"Ya namanya orang. Sudah ditolong ya begitu. Tiba-tiba motornya rusak, duitnya enggak ada. Minta tolong. Rusak berat sebenarnya. Dia bilang nanti kalau sudah gajian dibayar. Ternyata sudah gajian berapa tahun ya enggak dibayar," kata Man.
Uniknya, Man mengaku bukan orang yang mudah menagih.
Jadi, ia memilih diam dan mengaku mencoba paham ketika orang tidak bisa membayar karena memang tidak bisa.
"Akhirnya kan jadi dia yang malu sendiri enggak berani ke sini lagi. Paling kalau sudah mualas (logat Jawa Timur), saya bilang, 'Waduh banyak kerjaan aku ini.' Itu artinya saya sudah paling marah," akunya.
Suatu kali, Man juga pernah ditipu orang saat berada di Lampung. Ada perwakilan sebuah perusahaan yang memanfaatkan namanya sebagai penerima dana bantuan.
"Ya sampai ke saya, tetapi cuma berapa persennya. Jadi saya takut kejadian seperti itu. Ya mungkin rezekinya memang bukan buat saya, tetapi ya cuma mbok yao jangan begitu," ujarnya.
Beruntung, belakangan ini kondisinya membaik setelah salah seorang keponakannya yang menjadi pekerja honorer di PT Riau Andalan Pulp and Papper (RAPP) menyarankan namanya untuk masuk daftar mitra binaan.
Dana Rp 5 juta kemudian dipinjamkan dengan pengembalian cicilan sepuluh kali selama sepuluh bulan.
Namun, fleksibel, cicilan rupanya bisa dibayarkan ketika Man cukup uang. Walau begitu, dia dinilai konsisten.
"Yang bersangkutan (koordinator mitra binaan) pun langsung saya ajak belanja (stok suku cadang untuk bengkel). Duitnya biar dia kantongi dulu. Aku belanja, dia yang kusuruh bayar. Biar tahu. Bonnya pun dia yang bawa," ujar Man.
Tidak heran, kejujuran itu menjadi pertimbangan penting bagi pihak RAPP. Ia mendapatkan sertifikat sebagai mitra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terbaik, termasuk karena usahanya yang menghasilkan, seperti dikatakan Raden Ade Pramono, koordinator mitra binaan UMKM dari RAPP.
"Ia terbaik dari 32 bengkel mitra binaan RAPP. Untuk total ada 73 mitra, ada bengkel, tata boga, menjahit, salon, kedai kopi. Alhamdulillah Pak Man poinnya paling tinggi. Kadang kan ada orang yang dimodali ya habis saja, mau belanja modal lagi tidak bisa," kata Ade.
Dana tersebut dipinjamkan, bukan diberikan begitu saja untuk menghidupkan ekonomi kecil seperti Man.
Dana itu sendiri disebut "revolving fund" atau dana bergulir. Tidak ada bunga, dan hasilnya diteruskan bergantian ke pelaku-pelaku usaha kecil lainnya.
"Kalau dengan pinjaman modal usaha ini, lalu ada cicilan, mitra usaha kita juga ikut punya rasa memiliki. Kalau cuma dana hibah, tidak terlalu jalan. Makanya kami monitor, kami dampingi, ya alhamdulillah berjalan," ujar Ade. Man sendiri memang memanfaatkan sebaik mungkin segala bantuan dari RAPP.
Selain modal bengkel, Man juga memanfaatkan akses berjualan sayur dengan mobil di kompleks RAPP yang seringnya laris, dan kini berpindah ke usaha penampungan berondolan atau buah yang rontok dari pohon sawit.
"Saya sambil beli sawit sedikit-sedikit di sini. Orang bawa sini, perintilan di samping rumah, ditampung. Ada yang jual cuma 10 kg, 100 kg. Nanti ada tauke yang tampung. Kalau sedang ramai sehari bisa satu mobil penuh, bisa berton-ton," kata Man.
Usaha membeli berondolan sawit dan bengkel di tempat tinggalnya di Desa Gabung Makmur tersebut jadi pilihan bagi Man karena menyesuaikan dengan kondisi fisiknya.
"Ya kalau aku mau usaha kayak kawan-kawan, ya enggak bisa. Orang lain bisa melangkah bebas, kalau aku ya (pilih usaha) yang di rumah," ujar Man.
Pria yang mulai mengalami kelumpuhan saat kira-kira berusia 12 tahun usai sakit panas itu hanya berpesan, dalam usaha, kita tidak usah terlalu khawatir dengan pesaing.
"Yang penting kerjanya. Orang ya menilai kerjanya. Kalau (kerja di bengkel) ganti ya bilang ganti, kalau enggak ya enggak," ujar Man. ***