Kronologi 8 Atlet Indonesia Dijatuhkan Hukuman Berat Oleh BWF
RIAU24.COM -BWF menghukum delapan atlet badminton Indonesia karena terlibat match fixing dan perjudian di bulu tangkis.
Berikut kronologi delapan atlet badminton Indonesia terlibat kasus tersebut.
Pada September 2017, BWF diberitahu pengungkap atau whistleblower (WB) yang juga atlet badminton diajak Hendra Tandjaya (HT) memanipulasi hasil pertandingan di Selandia Baru Open pada Agustus 2017.
WB juga menyebutkan HT pernah meminta bantuan yang sama di Skotlandia Open pada November 2015 dan US Open pada Juli 2017.
BWF melalui panel investigasi (IHP) mewawancara HT pada 13 September 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia. Ketika itu HT didampingi Rachmat Setiawan dari PBSI dan penerjemah Najib.
Wawancara kedua dilakukan panel terhadap HT di Sydney, Australia, 7 Desember 2018. Selain wawancara dengan HT, panel menginterogasi AD (Androw Yunanto), AY (Androw Yunanto), dan AP (Agriprinna Prima Rahmanto Putra) mulai 10 hingga 12 Oktober 2018.
Usai mewawancara keempat terdakwa, BWF tidak berhasil mewawancara empat terdakwa lain: ID (Ivandi Danang), MM (Mia Mawarti), FA (Fadila Afni), dan AD (Aditya Dwiantoro).
Kronologi 8 Atlet Indonesia Terdakwa Match Fixing:
Antara 1 Januari dan 31 Desember 2014, HT mengajak WB mengatur hasil pertandingan turnamen badminton BWF di Indonesia, namun WB tidak menyetujui hal itu.
Perilaku itu dilanjutkan HT pada 1 Oktober hingga 1 Desember 2015. Kali ini HT tidak sendiri, dia juga mengajak Ivandi Danang kalah dalam laga pertama di Grand Prix Skotlandia Open lalu kemudian mendapatkan uang.
HT juga membayar pasangannya, Androw Yunanto, untuk mengatur hasil pertandingan di Hong Kong Open antara 1 hingga 30 November 2016.
Pada periode yang sama, HT melakukan tindakan serupa bersama Androw Yunanto di Macau Open.
Di tahun berikutnya, antara 1 hingga 30 Juni 2017, bersama dengan Androw Yunanto, HT melakukan pengaturan skor di turnamen internasional Syed Modi.
Seluruh pemain yang bersedia diajak mengatur pertandingan dan menerima uang dari Hendra Tandjaya mendapat hukuman dari BWF.
Hukuman untuk delapan atlet badminton Indonesia berupa sanksi seumur hidup dan denda.
Termasuk juga hukuman kepada Agripinna Prima Rahmanto Putra yang tidak melaporkan ajakan HT guna mengatur pertandingan ganda putra dan kalah di Vietnam Open pada 1 Agustus hingga 30 September 2017.
BWF sempat memberitahu PBSI guna mengajukan permintaan wawancara lain kepada ID, SP, FA, dan MM dalam periode 18 September 2017 hingga 12 Maret 2019. Akan tetapi keempatnya tidak pernah menghadiri wawancara.
Badan badminton dunia itu memberi tahu PBSI soal dakwaan pelanggaran peraturan BWF oleh delapan terdakwa itu berupa 'pemberitahuan hukuman'.
PBSI diberikan waktu hingga 10 Oktober 2019 untuk merespons, namun tidak ada respons dari PBSI.
Dalam tiga tahapan sejak 16 hingga 30 Oktober 2019, BWF mengingatkan PBSI terkait respons hukuman delapan terdakwa match fixing. Hanya saja tetap tidak ada tanggapan.
PBSI baru memberikan respons pada 6 November 2019 untuk pemberitahuan hukuman kepada HT, AY, SP, dan AP.
Tetapi untuk ID (Ivandi Danang), MM (Mia Mawarti), FA (Fadila Afni), dan AD (Aditya Dwiantoro) tidak bisa dihubungi, termasuk klub lama mereka.
BWF terus mendesak PBSI agar mendapatkan konfirmasi mengenai empat terdakwa lain.
Pada 5 Desember 2019 BWF meminta PSBI memenuhi kewajiban tersebut dan memastikan terdakwa mengetahui tuduhan itu serta menuntut mereka.
Ketika permasalahan itu belum selesai, pada Januari 2020 BWF mengetahui PBSI mengizinkan AP mengikuti 4 turnamen yang dilarang BWF.
Puncak dari kasus pengaturan skor dan perjudian ini, BWF mendakwa delapan pemain Indonesia terkait pelanggaran Kode BWF tentang Perjudian, Taruhan, dan, Hasil Pertandingan yang Tidak Teratur pada awal Januari 2021 berdasarkan keputusan Panel Pemeriksa Independen pada 22 Desember 2020.
Tiga dari delapan atlet badminton Indonesia dinilai BWF mengatur orang lain agar terlibat dalam perilaku tersebut dan telah diskors dari semua kegiatan yang berhubungan dengan bulu tangkis seumur hidup.
Sementara itu, lima orang lainnya diskors antara enam sampai 12 tahun dan denda masing-masing antara US$3 ribu dan US$12 ribu atau setara dengan Rp169 juta pada awal 2021.
(***)