Caleg DPD Bermodal Foto Cantik Ini Akhirnya Lolos ke Senayan, Setelah Gugatan Lawan Kandas di MK
RIAU24.COM - Evi Apita Maya, caleg DPD RI Dapil Nusa Tenggara Barat, akhirnya resmi melaju ke Senayan. Hal itu setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan sengketa hasil pemilu yang diajukan Farouk Muhammad.
Seperti diketahui, gugatan yang diajukan Farouk sempat marak disorot media massa. Pasalnya, kasus sengketa Pemilu ini dinlai lain dari yang lain. Karena salah satu dasar yang menjadi gugatan Farouk, karena Evi Apita menggunakan foto hasil editan dalam surat suara, spanduk dan balihonya, sehingga ia tampil lebih cantik dari wajah aslinya.
Dalam sidang yang digelar Jumat 9 Agustus 2019 kemrin, MK memutuskan menolak dalil pemohon, dalam hal ini Farouk Muhammad. MK menilai, tahap mengoreksi foto surat suara diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelum pelaksanaan pemilu, bukan setelah pengumuman hasil pemilu.
Dilansir viva, Kuasa hukum Evi, Wahyuddin Lukman juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, gugatan soal foto tersebut sudah mental di MK, karena Farouk tidak memanfaatkan momen sebelum pelaksanaan pemilu.
"Permohonan pemohon (Farouk) telah kedaluwarsa atau lampau untuk mengoreksi foto. Karena momen saat di KPU tidak digunakan. Oleh karena itu MK menolak dalam pokok perkaranya," terangnya.
Gugatan lainnya soal spanduk Evi yang memasang logo DPD RI juga ditolak MK. Farouk sebelumnya mengatakan logo DPD RI pada spanduk kampanye Evi adalah bentuk pelanggaran pemilu.
Namun, MK mengatakan logo DPD tidak bisa diukur dapat memengaruhi perolehan hasil suara. Hal ini sebagaimana putusan MK Nomor 186/PHPU.D/XVIII/2010.
Begitu juga tuduhan bahwa Evi diduga melakukan penggelembungan suara, juga ikutan mental. MK memutuskan, tuduhan penggelembungan suara 3.680 suara tidak signifikan dengan jumlah suara Evi dalam hasil pemilu.
Maksudnya tuduhan penggelembungan suara oleh pemohon sebanyak 3.680, sedangkan selisih perolehan suara antara pemohon dengan pihak terkait (Evi) mencapai puluhan ribu. Ini yang dipandang oleh Mahkamah tidak signifikan," ungkap Wahyu.
Gugatan terakhir, yakni tentang politik uang, dimentah MK karena pihak pemohon tidak menjelaskan locus (tempat) dan tempus (waktu) terjadinya politik uang tersebut. ***