RIAU24.COM - Sudah 19 tahun lamanya pasukan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat (AS) menginvasi dan 'gentayangan' di Afghanistan, atau tepatnya sejak peristiwa serangan bom yang diarahkan ke gedung kembar pencakar langit World Trade Center, pada 11 September 2001 silam.
Namun saat ini, masa tugas ribuan personel militer AS di kawasan Timur Tengah iu bakal segera berakhir. Hal itu setelah Presiden AS, Donald Trump, berniat segera memulangkan mereka kembali ke kandang alias balik kampung. Namun akibat kebijakan itu, kalangan dari AS sendiri menilai Trump sebagai seorang pengecut.
Ada beberapa hal yang disebut menjadi latar belakang penarikan pasukan AS tersebut. Dilansir viva, Rabu 27 Mei 2020,
New York Times melaporkan bahwa keinginan Trump untuk memulangkan ribuan tentara AS dari Afghanistan tak lepas dari agenda pemilihan presiden pada November 2020 nanti. Seperti diketahui, Trump dipastikan akan kembali maju sebagai kandidat orang nomor satu di Negara Paman Sam, untuk periode kedua.
Namun ada juga yang menyebutkan, dalam perjanjian damai antara AS dengan Taliban belum lama ini, memang tercanuim bahwa batas akhir pendudukan tentara AS akan berakhir pada 29 Februari 2022 mendatang.
"Kami sudah 19 tahun berada di sana. Dan saya pikir, itu sudah cukup. Kami selalu bisa kembali (pulang) jika kami mau," ucap Trump, menerangkanlangkah yang akan diambilnya itu, seperti dilansir sputnik news.
"Kami tidak bertindak sebagai prajurit, kami bertindak sebagai polisi dan kami tidak dikirim ke sana untuk menjadi polisi. Tetapi, kami sudah berada di sana 19 tahun dan saya pikir itu sudah cukup. Kami ingin membawa tentara kami pulang ke rumah. Kami selalu bisa kembali jika kami memang harus," tambanya.
Keputusan Trump ternyata mendapat kritik dari mantan analis Badan Intelijen Pusat AS (CIA), Lisa Maddox. Kepada Times, Maddox menyebut penarikan pasukan dari Afghanistan bisa berakibat buruk. Tal hanya itu, Maddox juga menilai pemulangan pasukan AS bisa dianggap sebagai sikap melarikan diri dan itu adalah tindakan pengecut.
"Ini (penarikan pasukan) mengirimkan pesan kepada mitra Afghanistan kami, bahwa kami melarikan diri. Waktu lebih banyak memungkinkan untuk pergantian yang lebih baik. Itu adalah sebuah proses rumut mengingat keterlibatan pemerintah AS dalam mendukung keamanan dan tata kelola negara (Afghanistan)," ujar Maddox.
Baca Juga: Jembatan Runtuh Di Brasil, Asam Sulfat Tumpah Ke Sungai Picu Krisis Ekologis
Untuk diketahui, AS sejauh ini sudah mengirimkan ratusan ribu tentaranya ke Afghanistan. Hal itu merupakan bentuk respons keras ASatas peristiwa serangan bom yang diarahkan ke gedung kembar pencakar langit World Trade Center, pada 11 September 2001.
Di bawah komando Presiden ke-43 AS, George W. Bush, 1.000 lebih personel militer dikirim ke Afghanistan, dan jumlahnya terus meningkat hingga mencapai lebih dari 10.000 tentara pada Desember 2003.
Pada masa pemerintahan Barrack Obama, jumlah pasukan AS di Afghanistan mencapai 150.000 personel pada 2010. Kemudian saat Trump naik sebagai presiden pada 2016, jumlah prajurit AS di Afghanistan sempat berkurang hingga menjadi 8.400 personel. ***