Potret Penanganan Kekerasan Terhadap Anak di Rokan Hulu
Data ini didominasi oleh kekerasan fisik dan Sebagian lainnya adalah kekerasan seksual. Data selama periode 2015-2017 menunjukkan bahwa masih tingginya bentuk tindak kekerasan terhadap anak ditemukan di Kabupaten Rokan Hulu. Hal ini dapat dilihat data pada tahun 2015 yaitu terdapat sebanyak 25 kasus, yang terdiri dari kasus pemerkosaan (3 kasus), pencabulan (5 Kasus), penipuan (5 kasus), pembunuhan bayi (2 kasus) dan kasus yang mencolok adalah eksploitasi yaitu sebanyak 10 kasus.
Pada periode tahun 2016 berdasarkan data yang diperoleh dari dinas sosial Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan anak Kabupaten Rokan Hulu tentang bentuk tindak kekerasan terhadap anak menunjukkan terdapat 29 kasus, terdiri dari kasus persetubuhan (3 kasus), kasus pengasuhan (5 kasus), kasus), kasus ancaman, terdiri dari dari kasus persetubuhan (3 kasus), kasus penipuan (6 kasus), pemerkosaan (4 kasus) dan pembuangan bayi (1 kasus). Sedangkan data periode tahub 2017 menunjukkan 33 kasus kekerasan yang menimpa anak dan dikhaatirkan akan terus bertambah pada tahun 2018 ketika itu jika tidak dilakukan Langkah-langkah efektif untuk mencegahnya.
Tahun 2020 yang tentu barangkali masih suasana syawalan umat Islam dipenjuru dunia, Kabupaten Rokan Hulu Kembali dipertontonkan kekerasan terhadap anak dibawah umur yang pelakukan orang terdekat korban yaitu masih keluarga korban, yang pelakunya ini anak dibawah umur, , ditambah lagi kita juga dipertonton diawal Bulan Juni kekerasan terhadap anak pemerkosaan yang dilakukan orang terdekat korban sendiri yaitu kakek sikorban, yang penulis dapat berita di media masa anak berumur 8 tahun yang diperkosa oleh kakeknya. Sungguh biadap prilaku yang telah pelaku lakukan.
Melihat realitas maraknya kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kabupaten. Pemerintah daerah setempat mencoba untuk mengantispasi untuk melakukan pencegahan serta memberikan pelayanan bagi anak yang menjadi korban kekerasan baik fisik maupun psikis. Atas dasar hal tersebut, maka Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Rokan Hulu menerbitkan standar Minimal (SPM) bidang layanan Terpadu bagi anak korban kekerasan yang telah disahkan melalui pertaturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor 08 Tahun 2018 tentang Penyelenggaran Perlindungan Anak. Penulis lihat sudah ada upaya dari pihak yang kompeten dalam penanganan Perlindungan Anak di Kabupaten Rokan Hulu khususnya Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak ditambah sudah adanya Perda Penyelengaraan perlidungan anak di Kabupaten Rokan Hulu, namun penulis melihat dengan marak kekerasan anak 2020 ini para pelaksana tugas dalam penanganan Tindak Kekerasan terhadap anak dirokan Hulu belum bisa dikasih jempol ditambah kesungguhan, dan keseriusan dalam menangani tindak kekerasan terhadap anak, dikarenakan keteterannya para pelaksana dalam menangani kasus ini, ditambah pihak yang indepeden berupa para pekerja sosial di Rokan Hulu bisa dikatakan yang fokus dalam hal ini belum ada, berupa para psikolog yang bisa memulihkan trauma anak korban tindak kekerasan, dan pekerja yang fokus perlindungan anak, ditambah KPAID di kabupaten Rokan Hulu yang vakum dan tidak bertugas dikarenakan anggaran mandek, KPAID Terakhir ada 2015 ketika Bupatinya Achmad yang sekarang menjabat sebagai Anggita DPR RI Komisi VIII penulis dapatkan info dari ketua KPAID Kabupaten Rokan Hulu Ketika mewawancarai beliau guna mencari data Tesis 2019.
Tentunya penulis berharap yang didapatkan dari hasil penelitian tesis yang berjudul Perlindungan Pemerintah Daerah Rokan Hulu dalam menangani kekerasan Terhadap Anak Prespektif Maqasid Syariah, bagaimanapun anak itu butuh perhatian lebih, bagaimana memanusiakan manusia. Faktor penghambat pemerintah daerah Rokan Hulu mengakbibatkan belum berperan aktifnya dan tidak efektifnya pemerintah Daerah Rokan Hulu dalam menangani kekerasan anak ada dua faktor.
Pertama, kurangnya peran yang dimainkan oleh pihak-pihak atau Lembaga yang memiliki fungsi tugas dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2018. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya Lembaga dinas sosial pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kepada masyarakat setempat dalam memberikan penyuluhan-peyuluhan terkait dampak negative yang dapat ditimbulkan akibat dari kekerasan terhadap anak, baik dari segi fisik dan fsikisnya. Kedua, budaya hukum msyarakat masyarakat Rokan Hulu yang masih belum melek hukum. Karena tingkat pemahaman masyarakat setempat terakait dengan pentingnya mematuhi hukum, khususnya Peraturan daerah Nomor 08 Tahun 2018 sangat minim. Hal ini tidak bisa lepas dari factor kelaziman dari pada perubahan. Sehingga masyakarat setempat dalam memberikan didikan terhadap anak-anak mereka yang telah lazim berlaku di masyarakat setempat yang sifatnya sudah mengakar.