Ambang Batas Parlemen Naik Lagi Dalam Revisi Undang-undang Pemilu, Sekjen Hanura: Tak Hanya Dana Bansos, Suara Rakyat Juga Mau Dikorupsi
RIAU24.COM - Rencana Komisi II DPR RI kembali membahas rencana revisi RUU Pemilu atas UU 7 Tahun 2017, saat ini mendapat sorotan dari sejumlah elit politik di Tanah Air. Sorotan khususnya tertuju pada salah satu pasal, yang mengatur kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT).
Dalam draf RUU Pemilu yang tengah digodok DPR tersebut, ada pasal yang mengatur kenaikan ambang batas parlemen DPR RI dari 4 persen menjadi 5 persen. Sedangkan untuk DPRD provinsi diusulkan 4 persen sementara untuk DPRD kabupaen/kota diusulkan 3 persen.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 217 pada Bagian Kedua Sistem Pemilu DPR. Isinya, partai politik disyaratkan mampu memperoleh suara sah nasional sebanyak lima persen agar memiliki keterwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Untuk diketahui, rencana revisi RUU Pemilu yang tengah dibahas sekarang adalah usulan dari DPR RI sendiri.
Merespon revisi UU Pemilu tersebut, Sekjen Partai Hanura, I Gede Pasek Suardika menilai, spirit pembahasan RUU Pemilu saat ini merupakan yang terburuk dalam sepanjang sejarah NKRI.
Menurutnya, keinginan menaikkan PT dan membuatnya jadi berjenjang ke daerah dengan patokan suara nasional, sama halnya dengan mengebiri suara rakyat.
"Sebaiknya dihentikan saja pembahasan RUU Pemilu kalau semangatnya hanya mau korupsi suara sah rakyat. Sebab, membaca draf RUU Pemilu saat ini, bukan semangat penguatan demokrasi, tetapi semangat kartelisasi kekuasaan, di mana PT dinaikkan, PT dibuat berjenjang dan dapil diperkecil. Hasilnya adalah akan terjadi bertambahnya hilang suara sah rakyat," terangnya, dilansir rmol, Rabu 27 Januari 2021.
Menurut mantan Ketua Komisi III DPR ini, hal itu akan sangat berbahaya bagi NKRI karena seharusnya RUU diniatkan untuk mengatur bagaimana suara sah rakyat tidak banyak hilang.
"Tapi ini malah membuat aturan yang memperbanyak suara sah hilang dan tidak dihitung. Sangat buruk semangatnya," ujarnya lagi.
"Saya setuju dengan pendapat PAN dan PPP yang tidak perlu dilakukan perubahan dulu," tambahnya.
Lebih lanjut, I Gede Pasek yang juga mantan anggota DPD RI ini, melontarkan sindiran. Menurutnya, ternyata tidak cukup hanya bansos dan benih lobster yang dikorupsi, tetapi suara sah rakyat juga ingin dikorupsi.
"Jadi upaya ini harus dihentikan oleh semua pecinta demokrasi. Mereka yang ingin kompetisi fair harus membuka aturan yang berpihak menjaga semakin berartinya suara sah rakyat," tandasnya.
Menolak
Sejauh ini, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah menyatakan menolak revisi UU Pemilu tersebut.
Alasannya, PPP menilai perubahan UU Pemilu yang relatif cepat akan membuat tidak ada waktu untuk mematangkan demokrasi.
"Tergerus dengan perubahan Undang-Undang Pemilu. Diperlukan kemantapan demokrasi prosedural agar demokrasi substansial memperoleh kesempatan berkinerja," ungkap Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, Selasa (27/1/2021) kemarin, dilansir kompas.
Tak hanya itu, Suharso menilai isu krusial dalam revisi UU Pemilu yakni ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) masih relevan untuk diterapkan pada pemilu berikutnya.
Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden sebaiknya tetap 20 persen dan ambang batas parlemen tetap di angka 4 persen. "Karena kian tinggi ambang batas parlemen, makin tinggi suara rakyat yang tersia-siakan. Ambang batas parlemen 4 persen relatif sudah tinggi," ujarnya lagi.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan juga terlebih dahulu menyatakan penolakannya. "PAN berpendapat bahwa UU tersebut belum saatnya untuk direvisi," kata Zulkifli Hasan dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).
Menurut Zulkifli, peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini masih sangat baru yaitu secara formal diterapkan dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir.
Karena itu, revisi UU Pemilu belum saatnya dilakukan. Meski demikian, beleid tersebut cukup disempurnakan melalui aturan turunan. ***