Boss of the Boss, Inilah Sosok yang Lebih Berkuasa Dari Soeharto Pada Zaman Orde Baru
RIAU24.COM - Tahukah Anda, Soeharto pernah berupaya menyelundupkan hasil bumi (smuggling) untuk dibarter dan memperoleh pundi-pundi. "Nahas, aksinya diketahui pada 1959, dan ia hampir dipecat oleh Letjen Abdul Haris Nasution, gara-gara kasus tersebut" tulis Abdul Gafur.
Ia menulis tentang sosok Ibu Tien, perjuangannya bersama Soeharto dalam bukunya berjudul Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia terbitan tahun 1992. Saking kecewanya, Soeharto memutuskan untuk menjadi sopir taksi. Disinilah peran Siti Hartinah (Ibu Tien) merespon keputusan suaminya itu.
Seharto sangat kecewa atas keputusan dicopotnya dari jabatan Pangdam Diponegoro.
Ia menjadi frustasi, lantaran Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) mendakwanya bersalah karena melakukan bisnis ilegal.
"Kekecewaannya, berujung pada keputusannya mundur dari kemiliteran" tulisnya.
"Saya tidak pernah menikah dengan sopir taksi, karena saya menikah dengan seorang prajurit, seorang tentara" ujar Bu Tien dalam tulisan Gafur.
Lantas, Soeharto mengurungkan niatnya dan memilih bersabar menjalani Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung. Kisah tersebut, menjadi titik awal perjuangan Soeharto sebelum menjabat sebagai presiden.
Sosok Ibu Tien selalu ada untuk Soeharto dan nasihat-nasihatnya, membuat ia jadi sosok yang paling berpengaruh di era orde baru kemudian. Memasuki tampuk kepemimpinan, banyak peranan Ibu Tien yang diduga memengaruhi tindak tanduk seorang Soeharto, pemimpin paling berkuasa di Orde Baru.
Nyonya Soeharto I (Ibu Tien) tampil sebagai pendorong dan pendamping suami yang paling kokoh. Selama kurang lebih 30 tahun, ia telah memengaruhi beragam kebijakan yang dicetuskan oleh Soeharto.
"Ia juga memperhatikan langkah-langkah dan tindakan yang diambil suaminya dalam mencermati keadaan yang bergerak cepat" kutipan dari artikel Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional berjudul Soeharto, Masa Bakti 1966 - 1998.
Setelah menjabat sebagai presiden, Soeharto secara mengejutkan menyepakati UU anti poligami pada 2 Januari 1974. UU No.1 Tahun 1974 ini berbunyi bahwa seorang pria hanya diperbolehkan memiliki seorang wanita, begitupun sebaliknya. Sebagaimana tulisan Abdul Gafur, Ibu Tien adalah orang yang sangat berpengaruh dalam penyetujuan RUU ini.
Baginya, poligami merupakan bagian dari penyimpangan tujuan perkawinan. "Sudah seharusnya negara memberikan perlindungan yang selayaknya kepada suami atau istri, terhadap tujuan-tujuan yang menyimpang dari kerukunan perkawinan" ungkap Soeharto dalam tulisan Gafur.
Proyek besar juga diambil oleh Soeharto untuk mendirikan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), ditengah banyaknya agenda pembangunan negara yang lebih mendesak. Proyek itu lantas menuai banyak kritik dari pihak seberang, diduga juga bahwa gagasan tersebut merupakan keinginan dari ibu negara.
Retnowati Abdulgani-Knapp dalam bukunya berjudul Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President, terbitan tahun 2007, menyebut akibat tindakannya, Ibu Tien mulai dijuluki dengan Mrs. Ten Percent.
Hal tersebut merupakan bentuk sarkas yang ditujukan kepada Ibu Tien oleh lawan politiknya (oposisi Soeharto) dengan adanya tuduhan bahwa ia selalu mendapat komisi sebesar sepuluh persen dari setiap proyek pemerintah, utamanya dari proyek besar pembangunan TMII.
Uniknya, banyak rumor dan guyonan yang beredar tentang jawaban nyeleneh Soeharto saat dilarang anaknya mencalonkan diri lagi sebagai presiden.
Ia dilarang oleh putrinya lantaran telah terlalu lama menjabat sebagai presiden. "Lha wong saya baru dua tahun jadi presiden, sebelumnya kan yang menjabat ibumu!" celetuk Soeharto sambil tertawa.
Pada suatu subuh, Siti Hartinah mendadak terkena serangan jantung. Ia kesulitan bernapas sehingga harus dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto. Sayang, nyawanya tak tertolong.
Minggu, 28 April 1996, menjadi hari terakhir Soeharto melihat kekasihnya, orang yang banyak berperan dalam hidupnya.
Bahkan, Ibu Tien telah mendahului, sebelum Soeharto lengser dari kursi kepresidenan dua tahun kemudian.