Penetapan Hari Santri Nasional Tak Lepas dari Resolusi Jihad dan Peran Hasyim Asy'ari Melawan Penjajah
RIAU24.COM - Indonesia tengah memperingati Hari Santri Nasional yang jatuh pada Hari ini, Jumat 22 Oktober 2021.
Hari Santri Nasional ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Pemilihan 22 Oktober tak lepas dari sejarah Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Resolusi Jihad yang dipelopori oleh pendiri Nahdlatul Ulama dan kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, karena ia merasa perjuangan kemerdekaan belum berakhir meski proklamasi sudah dilakukan pada 17 Agustus 1945. Alasannya Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, yang merupakan buah dari rencana Agresi Militer II Belanda, tiba di Indonesia.
Mengutip nu.or.id, saat itu Netherlands Indies Civil Administration (NICA) membonceng tentara Sekutu (Inggris) ketika hendak kembali menduduki Indonesia dalam Agresi Militer Belanda II pasca-kekalahan Jepang oleh Sekutu. Di sisi lain, NU memiliki milisi yang sempat dilatih secara militer oleh Jepang berkat siasat Hasyim Asy'ari yakni Laskar Hizbullah, yang turut dikobarkan semangatnya melalui Resolusi Jihad NU.
Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menjelaskan, pada 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci) melawan penjajah.
Beberapa pentolan yang dikumpulkan oleh K.H. Hasyim Asyari di dua hari itu adalah Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, dan para kiai lainnya. Mereka berkumpul di kantor PBNU, Bubutan, Surabaya. Dalam pertemuan itu, lahirlah Resolusi Jihad NU 22 Oktober.
Ulama NU menegaskan, umat dan ulama di berbagai daerah punya hasrat besar untuk menegakkan agama Islam dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Hal itu tertuang dalam pertimbangan Resolusi Jihad: “mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap2 orang Islam” dikutip dari Piagam Perjuangan Kebangsaan, yang ditulis oleh Abdul Mun’im DZ (2011).
Resolusi Jihad ini menegaskan, “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya.”
Bagi NU dan ulama-ulama pesantren, segala bentuk penjajahan harus dilawan karena baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman kepada rakyat Indonesia.
Setelah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya berlalu, Resolusi Jihad NU pun terus digelorakan. Dalam Muktamar ke-16 Nahdlatul Ulama pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, Jawa Tengah, K.H Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar.
Dalam buku Jihad Membela Nusantara: Nahdlatul Ulama Menghadapi Islam Radikal dan Neo-Liberalisme (2007), K.H Hasyim Asy’ari menganggap keberadaan penjajah akan menyulitkan penegakan syariat Islam. Menurutnya, perjuangan mempertahankan kemerdekaan kedaulatan negara merupakan kewajiban agama. Maka dari itu, ia menggelorakan perjuangan melawan penjajah.