Korban Pembunuhan Komunis di Indonesia Tahun 1965 Meminta Inggris Untuk Mengungkapkan Kebenaran Tentang Perannya Dalam Genosida dan Propaganda Anti-Cina
Dengan demikian, Gerakan 30 September memberikan “kesempatan emas untuk memeriksa pergeseran ke kiri Indonesia menuju dominasi Peking”, katanya.
Ia mengklaim bahwa Indonesia tidak akan pernah bisa kembali ke kebesarannya “sampai komunisme dan semua yang diperjuangkannya telah dihancurkan”.
Militer Indonesia memainkan perannya sendiri dalam memicu desas-desus tentang keterlibatan Cina. Sebuah telegram dari Konsul Jenderal AS di Hong Kong kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta tertanggal 27 April 1966, menyebutkan bahwa sebuah artikel yang diterbitkan oleh Koran Angkatan Bersendjata Angkatan Darat Indonesia, yang mengklaim bahwa pemimpin China Mao Zedong terlibat dalam Gerakan 30 September, adalah tipuan.
Telegram lain, tertanggal 4 Maret 1966, mengatakan bahwa militer menyematkan kudeta yang gagal pada PKI dan Cina “untuk melindungi Sukarno” dari asumsi publik bahwa ia telah mendalangi pembunuhan para jenderal, meskipun sekarang diyakini bahwa Sukarno tidak mengetahuinya sebelumnya.
“Kami tidak berpikir orang Cina adalah faktor utama dalam Gerakan 30 September,” tulis Duta Besar AS untuk Indonesia saat itu Marshall Green dalam telegram.
Namun demikian, sentimen anti-Cina yang dihasilkan dari propaganda semacam itu tetap ada di Indonesia hingga hari ini. Ketika Presiden Joko Widodo pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2014, ia dicap “Cina” oleh lawan-lawannya, seolah-olah itu adalah cercaan, menggarisbawahi terbatasnya kesempatan dalam politik bagi orang Tionghoa-Indonesia.