Paling Ditunggu-tunggu Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Kenali Sejarah THR di Indonesia
RIAU24.COM - Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi hal yang dinanti masyarakat, khususnya mereka yang hendak mudik dan berbelanja kebutuhan lebaran.
Pemerintah baru-baru ini telah resmi mengeluarkan aturan tentang pembayaran THR Lebaran 2022. Sesuai aturan tersebut, THR harus diberikan ke semua pekerja/buruh. Dalam ketentuan, pemerintah juga menetapkan bahwa THR wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Idul Fitri atau di pekan-pekan terakhir bulan .
Namun, apakah keberadaan THR sebagai pendapatan non-upah untuk pekerja di Indonesia ini telah ada sejak dulu, dan siapakah penggagasnya?
Kebijakan pemberian THR lahir pada 1951, sebagai program kabinet Soekiman Wirjosandjojo di era pemerintahan Soekarno. Saat itu, THR hanya diberi kepada pamong praja atau yang kini disebut sebagai PNS.
Soekiman sendiri berasal dari Partai Masyumi, yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia selama era Demokrasi Liberal. Meski Kabinet Soekiman ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun (1951-1952), ia mewariskan beberapa beberapa program kesejahteraan bagi PNS, termasuk persekot lebaran ini. Tujuannya, agar para PNS mendukung kebijakan dan program-program pemerintah.
Awalnya, konsep THR untuk PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka. Nantinya, para PNS tersebut harus mengembalikannya dalam bentuk pemotongan gaji.
THR kala itu itu diberikan dalam bentuk beras atau sembako serta uang tunai berkisar Rp125 sampai dengan Rp200 atau setara dengan Rp1.100.000-Rp1.750.000 saat ini. Itu semua diberikan agar kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi dan ekonomi bisa bergerak.
Kemudian pada 1952, program ini menuai protes dari kaum buruh yang merasa tidak adil jika THR hanya diberikan untuk PNS.
Sepanjang periode 1951-1952, tercatat terjadi 88 pemogokan buruh dan kebanyakan pemogokan itu terjadi di masa-masa menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Awalnya, pemerintah saat itu tidak mengabulkan tuntutan para pekerja/buruh. Namun, selama dua tahun salah satu organisasi buruh terbesar saat itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) gencar menyerukan kritik dan tuntutan, agar pemberian persekot lebaran diperluas.
Perjuangan kaum pekerja/buruh ini akhirnya membuahkan hasil dan memunculkan istilah "Hadiah Lebaran". Pada 1954, Menteri Perburuhan Indonesia S.M. Abidin mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3676/54 mengenai Hadiah Lebaran. Dalam SE ini, dikatakan setiap perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” untuk buruh sebesar seperduabelas dari upah, sekurang-kurangnya Rp 50 dan sebesar-besarnya Rp 300.
Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan "Hadiah Lebaran" bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu, para buruh, yang dipimpin SOBSI terus menyuarakan tuntutan kepada pemerintah.
Tuntutan para buruh terkait "Hadiah Lebaran" sebagai hal yang wajib baru didengar pemerintah pada era Demokrasi Terpimpin, saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.
Mengutip www.mediakasasi.com, Ahem Erningpraja mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961, yang isinya menyebutkan bahwa "Hadiah Lebaran" wajib dibayarkan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan.
Aturan ini masih terus diadopsi hingga era pemerintahan Orde Baru. Baru pada 1994 istilah THR diperkenalkan, disertai aturan mengenai skema pemberiannya.