Mengenang Kembali Perang Diponegoro
RIAU24.COM - Cikal Bakal Perang Diponegoro lahir karena keinginan rakyat di Pulau Jawa untuk terbebas dari penjajah Belanda.
Belanda yang tak ingin melepaskan Pulau Jawa juga bertindak.
Alhasil, perang ini berlangsung selama 5 tahun dari tahun 1825 hingga tahun 1830 dikutip dari inews.id.
Untuk korban dari Indonesia mencapai sekitar 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda 8.000 tentara Belanda serta 7000 serdadu pribumi.
Perang diawali dari sikap Pangeran Diponegoro yang tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Di sisi lain, kerajaan seakan tak berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah kolonial Belanda.
Namun kalangan pejabat keraton justru hidup mewah serta tidak memperdulikan penderitaan rakyat.
Kekecewaan Pangeran Diponegoro memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Kolonial Belanda untuk memasang patok-patok pembuatan rel kereta api melewati makam leluhurnya.
Pangeran Diponegoro yang muak dengan sikap Belanda kemudian menciptakan sebuah gerakan perlawanan dan menyatakan perang.
Atas sikapnya itu, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo.
Saat itu Pangeran Diponegoro serta sebagian besar pengikutnya berhasil lolos, tapi kediamannya di Tegalrejo habis dibakar.
Pangeran Diponegoro bergerak ke barat hingga ke Gua Selarong di Dusun Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul sebagai markas besarnya.
Perang ini juga melibatkan berbagai kalangan, mulai dari kaum petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang serta barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang.
Seiring perjalannya waktu, pasukan Pangeran Diponegoro terjepit, Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo berhasil diamankan Belanda.
Bahkan pada tanggal 21 September 1829, Belanda sempat membuat sayembara dengan hadiah uang sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan bagi siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati.
Pada tanggal 16 Februari 1830, Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yaitu Kolonel Jan Baptist Cleerens.
Namun pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan kesepakatan dan Pangeran Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan Jenderal De Kock.
Meskipun pertemuan dengan Jenderal De Kock telah terjadi beberapa kali, namun mata-mata Belanda yang ditempatkan di kesatuan Diponegoro melaporkan bahwa Pangeran Diponegoro tetap bersikeras menginginkan Belanda mengakuinya sebagai sultan Jawa bagian Selatan.
Hingga akhirnya pada 25 Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michiels untuk mempersiapkan perlengkapan militer dan merencanakan penangkapan Diponegoro.
Pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Pada akhirnya, setelah pengkhianatan yang terjadi, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya dilepaskan.
Penyerahan diri Pangeran Diponegoro pun menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau perang Jawa pada tahun 1830.