Prancis akan Minta Bantuan Cina untuk Akhiri Invasi Rusia ke Ukraina
RIAU24.COM - Presiden Prancis Emmanuel Macron akan mengunjungi Cina pada April mendatang untuk meminta bantuan pemerintah setempat dalam mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina.
Rencana kunjungan ini muncul setelah Cina menyerukan gencatan senjata dan "penyelesaian politik" untuk mengakhiri konflik Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung selama setahun.
"Fakta bahwa Cina terlibat dalam upaya perdamaian adalah hal yang baik. Cina harus membantu kami menekan Rusia agar tidak pernah menggunakan senjata kimia atau nuklir, dan menghentikan agresinya sebagai prasyarat untuk pembicaraan (perdamaian),” ujar Macron, dilaporkan Aljazirah, Ahad (26/2/2023).
Beijing telah berusaha untuk memposisikan dirinya sebagai pihak netral dalam konflik tersebut, meskipun telah mempertahankan hubungan dekat dengan Rusia.
Cina menerbitkan proposal perdamaian yang berisi 12 poin terkait posisinya dalam invasi Rusia ke Ukraina. Dalam makalah tersebut, Cina mengatakan, perang tidak menguntungkan siapa pun dan mendesak semua pihak untuk mendukung Rusia dan Ukraina melanjutkan dialog langsung secepat mungkin.
Cina juga mendesak diakhirinya sanksi Barat terhadap Rusia. Termasuk pembentukan koridor kemanusiaan untuk evakuasi warga sipil dan langkah-langkah untuk memastikan ekspor biji-bijian setelah gangguan yang menyebabkan harga pangan global melonjak tahun lalu.
Cina memperjelas penentangannya terhadap penggunaan dan ancaman pengerahan senjata nuklir oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyambut baik posisi Cina tersebut. Dia mengatakan, Kiev perlu bekerja sama dengan Beijing untuk mengakhiri perang.
“Cina mulai berbicara tentang Ukraina, dan itu tidak buruk. Bagi saya, tampaknya ada rasa hormat terhadap integritas teritorial kami, masalah keamanan. Kita perlu bekerja sama dengan Cina dalam hal ini," ujar Zelenskyy.
Zelenskyy juga mengungkapkan harapan dapat bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping. Tetapi beberapa sekutu Ukraina telah menyatakan skeptis terhadap komitmen Cina untuk menengahi perdamaian. Hal ini merujuk pada hubungan dekat Beijing dengan Moskow.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan, Cina tidak dalam posisi yang baik untuk merundingkan diakhirinya perang.
“Cina tidak memiliki banyak kredibilitas karena mereka tidak dapat mengutuk invasi ilegal ke Ukraina,” kata Stoltenberg kepada wartawan.
Stoltenberg menambahkan, Beijing telah menandatangani perjanjian dengan Putin beberapa hari sebelum invasi, dan menjanjikan kemitraan “tanpa batas”.
Amerika Serikat (AS) juga mengatakan, Ciba mempertimbangkan untuk memberikan dukungan senjata ke Rusia. Namun klaim AS ini dibantah oleh Beijing.
Analis di Cina mengatakan, penolakan Beijing untuk mengutuk invasi Rusia ke Ukraina menjadikan negara itu sebagai satu-satunya perantara jujur yang dapat membantu menyelesaikan konflik.
Rekan peneliti senior di lembaga think tank Center for China and Globalization, Andy Mok, mengatakan, Cina sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia mendapat manfaat dari diakhirinya permusuhan Rusia dan Ukraina, termasuk Barat.
“Dari perspektif prestise reputasi, memainkan peran dalam mengakhiri konflik ini ketika tidak ada kekuatan besar lain yang mampu melakukannya akan mengikis reputasi Cina. Tetapi kita harus mengakui bahwa ada begitu banyak hal yang dapat dilakukan oleh broker yang jujur dan kadang-kadang, kedua belah pihak harus berjuang sampai kelelahan sebelum dapat ada penyelesaian yang dinegosiasikan dan apakah kita berada pada titik ini atau tidak," kata Mok.
Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko akan melakukan kunjungan kenegaraan dari 28 Februari hingga 2 Maret atas undangan Xi.
Lukashenko merupakan sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin. Lukashenko mengizinkan pasukan Rusia menyerang Ukraina dari wilayah Belarusia, termasuk dengan mengizinkan Rusia untuk melatih pasukan cadangan di Belarusia.
Ukraina telah menyatakan keprihatinannya bahwa Belarusia dapat kembali mendukung Moskow, karena keduanya mengumumkan pembentukan pasukan regional gabungan Oktober lalu.
Dalam panggilan telepon pada Jumat (24/2/2023) Menteri Luar Negeri Cina, Qin Gang mengatakan kepada Menteri Luar Negeri Belarusia Sergei Aleinik bahwa Beijing bersedia bekerja sama dengan Minsk untuk memperdalam kepercayaan politik timbal balik.
Cina juga akan terus mendukung Belarusia dalam menjaga stabilitas nasional dan menentang upaya "kekuatan eksternal" untuk mencampuri urusan dalam negerinya atau memberlakukan sanksi sepihak "ilegal" di Minsk.
(***)