Kerusuhan di Bangladesh Tewaskan 173 Jiwa, Picu Kelompok Hacker Bobol Situs PM, Bank Sentral hingga Polisi
RIAU24.COM - Di tengah kerusuhan yang melanda Bangladesh, kelompok hacker telah meretas situs resmi Kantor Perdana Menteri (PM), Bank Sentral dan polisi.
Kelompok hacker itu menamakan dirinya "THE R3SISTANTC3".
Dalam serangan sibernya, kelompok itu meninggalkan pesan yang sama di ketiga situs: "Operasi Perburuan, Hentikan Pembunuhan Mahasiswa". Pesan itu ditambahkan dengan tulisan warna merah: "Ini bukan protes lagi, ini perang sekarang."
Pesan yang lebih panjang berbunyi: “Protes damai yang dilakukan oleh mahasiswa kami yang pemberani telah ditanggapi dengan kekerasan dan pembunuhan brutal, yang diatur oleh pemerintah dan kroni-kroni politiknya. Ini bukan lagi sekadar protes; ini adalah perang demi keadilan, kebebasan, dan kepentingan masa depan kami."
Kelompok hacker tersebut lebih lanjut mengatakan, "Kami segera menyerukan kepada para peretas, penyelidik OSINT, dan jurnalis untuk bergabung dengan tujuan kami. Kami membutuhkan keahlian Anda, informasi Anda, dan keberanian Anda untuk mengambil tindakan tegas. Waktu untuk observasi pasif telah berakhir."
Pesan lain di bagian bawah situs-situs yang diretas berbunyi: "Persiapkan diri Anda. Perjuangan untuk keadilan telah dimulai."
Situs-situs itu juga menampilkan gambar lima pria dan dua anjing tanpa menyebutkan rincian tentang mereka.
Kerusuhan di Bangladesh dipicu oleh mahasiswa yang telah lama menuntut perombakan sistem kuota perekrutan pegawai negeri, yang awalnya hanya menyediakan 30 persen pekerjaan di pemerintahan untuk keturunan veteran yang berperang dalam perang kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971.
Para kritikus berpendapat bahwa sistem ini menguntungkan sekutu partai Liga Awami yang berkuasa, yang memelopori gerakan pembebasan melawan Pakistan.
Lebih dari 100 orang tewas dalam protes mengenai peraturan perekrutan pegawai negeri yang kontroversial tersebut.
Menyusul protes yang mengakibatkan kematian lebih dari 100 orang, Mahkamah Agung Bangladesh memutuskan untuk memangkas kuota yang disediakan untuk kerabat veteran perang dari 30 persen menjadi 5 persen dan mengizinkan 93 persen untuk dialokasikan berdasarkan prestasi dan 2 persen sisanya akan diperuntukkan bagi anggota etnis minoritas, individu transgender, dan penyandang disabilitas.
Sebelumnya, pemerintahan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina telah berupaya untuk menghapuskan sistem kuota penerimaan pegawai negeri pada tahun 2018.
Namun, Pengadilan Tinggi menerapkannya kembali pada bulan lalu, sehingga menyulut kembali kemarahan publik dan memicu protes baru.
Sepanjang kerusuhan, pemerintah memberlakukan tindakan ketat, termasuk menerapkan jam malam, pengerahan pasukan militer, dan pemadaman komunikasi yang mengisolasi Bangladesh dari dunia luar.
Muncul laporan tentang polisi yang menggunakan gas air mata, peluru karet, dan granat asap untuk membubarkan pengunjuk rasa, sehingga memperburuk kemarahan masyarakat.
PM Hasina membela sistem kuota dan menyoroti kontribusi para veteran terhadap kemerdekaan negara, apapun afiliasi politik mereka.
Namun, upaya pemerintahnya untuk menampilkan pengunjuk rasa sebagai orang yang tidak patriotik semakin memicu kemarahan di antara para pengunjuk rasa.
Keputusan pemerintah Bangladesh untuk memutus koneksi telepon dan internet berkontribusi pada apa yang disebut sebagai “pemadaman informasi.”
Tanggapan keras dari pihak berwenang meningkatkan seruan untuk melakukan reformasi politik yang lebih luas di luar masalah kuota perekrutan pegawai negeri, dengan meningkatnya tuntutan agar pemerintah mengundurkan diri.
Para pengunjuk rasa menegaskan bahwa demonstrasi tersebut bukan hanya tentang kuota pekerjaan tetapi juga tentang hilangnya nyawa, perusakan harta benda, dan terhambatnya arus informasi.
Analis politik memandang protes tersebut sebagai momen penting bagi Bangladesh, dan menunjukkan bahwa pemerintah menghadapi tantangan besar terhadap legitimasinya.
(***)