Suruh Pilih yang Berbaju Putih, Pakar Semiotika Sebut Baju Putih Tak Bisa Diidentikkan Dengan Jokowi
RIAU24.COM - Ajakan capres Joko Widodo (Jokowi) untuk memilih yang mengenakan kostum putih, dinilai bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi sekaligus bumerang bagi Jokowi.
Dikutip dari detik.com, Kamis, 28 Maret 2019, Pakar semiotika dari ITB, Acep Iwan Saidi, mengatakan bahwa imbauan dia seolah-olah memaksa publik untuk menunjukkan pilihannya sebelum mereka memilih. Prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia akan ternodai jika hal itu direalisasi.
"Di sisi lain, imbauan tersebut sebenarnya bisa menjadi bumerang bagi Jokowi sendiri. Sebab, mungkin saja nanti orang memakai baju putih, tapi bukan untuk memilih pasangan calon (paslon) 01, tapi justru untuk mengelabuinya. Selain itu, baju putih bukan hanya 'milik' atau identik dengan Jokowi," jelas Acep.
Acep menambahkan, warna putih sendiri memiliki makna tersendiri dalam semiotika perircean alias ilmu tanda, dalam hal ini simbol, ikon, dan indeks. Diterangkannya, Putih, merupakan tanda kepertamaan. Putih akan menjadi tanda jika secara logis telah 'duduk' dalam konteks atau argumen tertentu.
Kemudian dia juga mencontohkan dalam konteks Islam. Warna putih memiliki makna Islami ketika didesain menjadi baju koko. Tapi, jika didesain sebagai kemeja, warna putih tidak lantas bermakna Islami.
"Bagaimana dengan 'putih Jokowi'? Baju putih yang identik dengan Jokowi adalah kemeja putih yang dipakai dengan cara dilipat bagian ujung lengannya, tidak dimasukkan ke dalam celana, dan biasanya dipadu dengan celana hitam dari kain atau jins. Lain dari bentuk ini, baju putih bersifat netral," katanya.
Makanya, kata Acep, baju putih tidak bisa diidentikkan dengan seseorang atau paslon tertentu. Sama halnya dengan baju koko putih yang tidak bisa diidentikkan dengan Ma'ruf Amin. Karena, cara berpakaian Ma'ruf Amin, yang memadukan peci hitam, sarung, dan sorban, merupakan visualisasi dari Islam.
"Jika koko dipadu dengan peci putih (topi haji), misalnya, kesannya justru akan sebaliknya dari paslon 01, yakni menjadi milik paslon 02. Perhatikan fashion ulama dan santri 212. Secara umum, mereka tidak memakai peci hitam. Sebagian malah memakai gamis meskipun segelintir ada juga yang memakai sorban hijau (sebab banyak aktivis 212 juga dari NU). 'Putihkan Monas', adalah metafora milik 212, yang visualisasi dan sintaksis fashion-nya koko putih yang dipadu dengan peci putih (dalam berbagai bentuk)," terangnya lagi.
zxc2
"Walhasil, baju putih tidak bisa disederhanakan dengan mengidentikkannya kepada Jokowi atau paslon 02," sambung Acep.
Acep memberikan saran jika ada baiknya jika imbauan memakai baju putih di hari pencoblosan tidak dilakukan. Dia mengatakan ajakan tersebut terlalu naif.
"Terlalu naif, kecuali jika paslon 01 ingin disebut sebagai kubu yang sedang galau--jika tidak mau disebut panik. Sebab, secara semiotis, imbauan tersebut dapat menjadi tanda indeksikal dari kehendak untuk bisa cepat melihat pemilihnya sebelum mereka memilih: tidak sabar dan takut kalah," tegasnya.